Akses cepat:

Langsung ke konten (Alt 1) Langsung ke menu utama (Alt 2)

Perang
Perang, Sajak dan Nyali: Ode untuk Odessa

War, Poetry and Valor: An Ode to Odessa
© unsplash

But in the secret history of anger—one man’s silence
lives in the bodies of others—as we dance to keep from falling,

between the doctor and the prosecutor:
my family, the people of Odessa,
women with huge breasts, old men naïve and childlike,

all our words, heaps of burning feathers
that rise and rise with each retelling.

--Ilya Kaminsky, “In Praise of Laughter”, dalam
Dancing in Odessa (Massachusetts: Tupelo Press, 2004)
 

1.

Semenjak 2019, saya selalu merayakan ulang tahun suami saya, waktu itu masih calon, yang jatuh pada 24 Februari. Sekali waktu, kami pernah merayakannya via sambungan video, ketika saya sedang berlayar sebagai penulis tamu di sebuah kapal pesiar pelanglang buana, dan kapal itu tengah menempuh bagian kedua rutenya dari Bali ke Yokohama. Tapi, setelah itu kami selalu merayakan ulang tahunnya bersama, dan hampir selalu di sebuah restoran (kecuali tahun 2020, tahun yang ingin kita hapus dari ingatan) sembari mengundang orang-orang terkasih lain di dalam hidupnya, yaitu orang tua dan adik perempuannya.

24 Februari pun selalu terasa istimewa, karena esoknya adalah ulang tahun putri saya—putri saya satu-satunya yang saat ini bermukim di Boston. Kami bukan orang yang percaya takhayul, tapi kebetulan yang satu ini serasa takdir.

Pada 24 Februari tahun ini, kami berempat—suami, saya sendiri, ibu mertua, dan adik ipar—tengah menikmati makan malam di sebuah restoran Italia, ketika layar ponsel kami berkedip-kedip diserbu notifikasi berita.

Mulailah bermunculan video singkat berisi asap hitam yang membubung tinggi dan menyelubungi cahaya pagi di kota Kharkiv dan Kherson. Ledakan di kawasan lain, tertangkap oleh sebuah kamera ponsel. Wajah Volodymyr Zelensky yang mencoba menenangkan sekaligus menyemangati rakyatnya—sang komikus yang banting setir menjadi presiden dan pemimpin bangsanya, dan yang hanya dalam bilangan hari “menggerakkan rakyatnya,” tulis David Remnick dari majalah The New Yorker, “melalui kata-katanya yang jernih” dan yang “pada waktu tergenting di Eropa sejak kejatuhan Uni Soviet, mengambil peran layaknya Winston Churchill.”

Rusia telah menyerbu Ukraina.

Saya ingat mengucap, “Troy has fallen.” Kota Troya jatuh. Sebab mustahil tak teringat bahwa pada Musim Gugur 1935, bangsa Prancis, setelah menonton pertunjukan drama karya Jean Giraudoux berjudul La guerre de Troie n’aura pas lieu, memandang negaranya sama rapuhnya dengan Troya, sementara Hitler, keji dan bersenjata lengkap, bagaikan sang harimau di luar gerbang yang siap menerkam—“The Tiger at the Gates.” Sebagai pecinta mitologi, saya rasa analogi ini sangat pas.

Ironisnya, pada 1939, Giraudoux menjadi menteri bidang propaganda perang pada tahun 1939; ia bahkan berani-beraninya menyatakan bahwa bahaya paling mendesak bagi Prancis, bahkan di atas rezim Nazi, adalah ‘seratus ribu orang Yahudi Ashkenazi yang melarikan diri dari kawasan-kawasan ghetto di Polandia atau Romania.’ Tapi, ia juga orang yang paling tahu, lebih dari siapa pun, bahwa korban pertama dari perang, selalu, selamanya, adalah kebenaran.

“Semua orang, semasa perang,” tulis Giraudoux untuk tokoh rekaannya, Andromache, dalam lakon yang ia tulis, “belajar untuk hidup di tengah lingkungan yang baru: kepalsuan.”

2.

Mustahil memang untuk tidak hidup di tengah kepalsuan. Tengok saja kurun waktu dua pekan terakhir: sejarah bergerak dengan kecepatan cahaya, dan terperangkap dalam lingkaran setan informasi, misinformasi, laporan dan analisis yang tumpang tindih, kita tak mungkin lagi mengikuti, apalagi memahami gambaran utuh dari kejadian saat ini—kejadian yang, mengutip komentator politik Amerika Thomas Friedman, merupakan “peristiwa terbesar dalam sejarah sejak Perang Dunia II.”

Namun, luar biasa mencengangkan betapa banyaknya yang sudah kita ketahui, sebenarnya, menjelang 24 Februari. Kita sudah tahu klaim Presiden Putin yang menyatakan dunia Barat menggunakan Ukraina sebagai alasan untuk menyerang dan menghancurkan Rusia. Berbekal kisah-kisah bohong tentang kekejian Ukraina terhadap kelompok minoritas berbahasa Rusia di sana, Putin mengajukan pembenaran demi pembenaran terhadap dukungannya untuk pasukan separatis yang sejak tahun 2014 menguasai kawasan timur Ukraina.

Sebagaimana diuraikan oleh Clare Malone dalam majalah The New Yorker, pada masa yang oleh banyak orang dijuluki “Perang Tik Tok” ini, urutan peristiwa hingga pecahnya perang sebetulnya cukup jelas. Presiden Amerika Joseph Biden berulang kali mengumumkan bahwa Rusia berencana menyerang Ukraina, dan AS tak akan melakukan intervensi militer. Ukraina bukan anggota NATO, dan Rusia menuntut agar status ini tidak berubah, sementara NATO terus memperluas kekuatannya di kawasan Eropa Timur. Emmanuel Macron, Presiden Prancis, mencoba meredakan ketegangan, namun tidak berhasil. AS dan sekutunya mulai menerapkan sanksi ekonomi yang cukup berat terhadap Rusia, tapi sudah jelas agaknya bahwa sanksi tersebut justru kian menguatkan tekad Putin.

Di tengah semua ini, Jerman, seperti biasa, bertahan dengan sikap pragmatisnya dan menjaga jarak. (Bagi sebagian besar orang Jerman, perang dengan Rusia tidak akan pernah bisa diterima, meskipun keadaan ini tak lama lagi akan diubah oleh Kanselir Olaf Scholz.)

Ya, kita telah melihatnya: semua gelagat buruk itu. Namun, satu hal yang membedakan konflik ini dari semua konflik yang pernah kita alami adalah intensitas liputan. Dengan adanya media sosial, sampai sekarang pun berita-berita seputar Ukraina membuat penonton serasa berada langsung di sana. Lepas dari kebenaran dari suatu konten berita—fakta atau rekaan, produk jurnalisme perang otentik oleh warga atau hasil manipulasi politik—perhatian kita telah tersita. We are hooked.

Troya belum jatuh. Lebih dari itu—ia melawan balik.

Melalui layar ponsel kita, kita menjadi saksi langsung bagaimana Volodymyr Zelensky, orang Yahudi pertama yang menjadi presiden Ukraina, beralih rupa menjadi sosok pahlawan yang menginspirasi. Yang ia lakukan tak hanya mengubah citra tradisional seorang pemimpin politik, tetapi juga secara radikal mengubah sikap masyarakat, dari warga biasa sampai orang-orang kuat di seantero Eropa bahkan dunia, dalam kurun waktu hanya sepekan.

Tiba-tiba, begitu saja, saat diucapkan oleh Zelensky, kata-kata semacam ‘demokrasi’, ‘otonomi’, dan ‘perdamaian’ tak lagi terdengar seperti konsep-konsep yang abstrak, melainkan sebagai panggilan untuk berjuang, seruan untuk membela semua itu sebagai hak kita dan melawan kezaliman.

Dunia tersentak bangun.

Kanselir Scholz mengubah posisi Jerman seratus delapan puluh derajat di hadapan Bundestag, dan mengusulkan agar Jerman mengirimkan persenjataan ke Ukraina. Rekomendasi itu didukung oleh 78 persen masyarakat Jerman.

Pada titik ini, jelas bagi kita bahwa Zelensky dan Putin sangat, sangat berbeda: setiap kali sosok keduanya disandingkan di media, terlihat perbedaan yang menganga di antara keduanya dari segi penampilan, isi pidato, dan cara berbicara. Pada diri Zelensky, kita melihat keberanian dan ketangguhan, sementara pada Putin kita melihat sosok yang kaku dan paranoid; dan  alangkah mungkin pandangan ini mencerminkan tak hanya kita sebagai masyarakat pada saat ini, tetapi juga masa ini secara keseluruhan.

Dalam artikelnya di Financial Times, Gillian Tett bercerita tentang acara makan malam resmi yang pernah ia hadiri, ketika Zelensky, yang dengan ‘jahil dan ceria’ menyampaikan pidato usai jamuan. “Di Ukraina,” tulis Tett, “masa posmonya lebih banyak diisi oleh humor yang tak lazim, serta bentuk-bentuk perlawanan yang kreatif terhadap autokrasi Rusia yang mengusik, dan yang jauh melampaui politik identitas abad ke-20.”

Rakyat Ukraina telah lama memahami hal ini.

3.

Dan saya yakin begitu pula kita di Indonesia, meskipun kita begitu jauh di belahan dunia lain. Pandemi berkepanjangan dan kurangnya kepemimpinan yang nyata dalam kehidupan politik kita tampaknya telah mengajarkan kita tentang nilai (serta daya di balik) nyali dan humor. Kita pun sudah muak menyaksikan keganasan dan kebrutalan perang, dan siap menyebutnya apa adanya.

“Putin itu gila dan bodoh, ya,” ibu mertua saya tiba-tiba menyeletuk di sela antipasti dan primi piatti. Pada usia 84 tahun, ibu mertua saya, bagaimanapun juga penyintas dua perang dunia, masih rajin mengikuti berita di TV kabel serta Tik Tok, dan paham ikhwal-ikhwal lokal maupun internasional terkini.

Sementara itu, ibu saya sendiri, 77 tahun, selalu memiliki sikap politik yang tegas; dalam hal ini pun ia punya teori yang tak tergoyahkan tentang sebab dan akibat invasi Rusia terhadap Ukraina. Ibu saya cenderung menyalahkan negara-negara Barat atas terjadinya perang di Ukraina; kadang ia mengirim video YouTube berisi analisa sejumlah pengamat untuk mendukung pendapatnya. Ia juga mengkhawatirkan dampak perang antara Rusia dan Ukraina terhadap ekonomi Indonesia. Belum lama ini ia menyinggung kenaikan harga gandum—Ukraina adalah pengimpor terbesar gandum ke Indonesia dalam tiga tahun terakhir—dan bagaimana kenaikan itu bisa berdampak buruk terhadap produksi makanan pokok kita.

Meski demikian, saya merasa ada sesuatu yang mengusiknya tentang kecenderungan orang-orang di Moskwa memelintir berita dalam upaya mengendalikan dan mengarahkan sejarah. Saya menduga, perang, bagi ibu saya, adalah sesuatu yang usang, basi, dan, ujung-ujungnya sia-sia. Ia memang membenci imperialisme dalam segala bentuknya. Meski beliau lahir pada akhir 1944, tahun terakhir pendudukan Jepang yang berlangsung selama tiga tahun di Indonesia, dan setahun sebelum Belanda kembali berusaha menjajah Indonesia, perang berpengaruh langsung terhadap kehidupannya dan kehidupan keluarganya. Sebagian besar dari kita tidak pernah mengalami perang.

“Tapi Putin tak bakal berhenti,” tukas suami saya yang sedang berulang tahun. “Ia malah akan meningkatkan agresi sampai Ukraina mampus total.”

Sesaat, kami terdiam. Entah mengapa, rasa pizza di meja makan tidak lagi selezat pekan lalu, ketika kami mencicipinya pertama kali. Pikiran saya melayang ke 7,5 juta anak-anak di Ukraina, yang saat ini kurang lebih setengah jutanya telah mengungsi ke negara-negara tetangga yang sekarang kelimpungan dan memohon bantuan kemanusiaan dari negara-negara Barat. Anak-anak yang terluka, tak punya tempat bernaung maupun makanan. Anak-anak yang terbunuh. Sebagian dari mereka yang tak bisa melarikan diri terpaksa berlindung di stasiun kereta bawah tanah atau di dalam gerbong kereta bersama keluarganya, kedinginan dan ketakutan. Ada pula yang keluarganya tak mau pergi dari negaranya karena masalah prinsip.

Dada saya tercekat. Lihatlah kami, di sana, di restoran itu, makan dan ngobrol. Tak mustahil, itulah yang akan terus kita lakukan. Makan dan ngobrol. Tanpa melakukan suatu apa.

“Aku kan pernah ke Ukraina enam tahun yang lalu,” saya akhirnya berkata. “Dan perjalanan itu adalah salah satu pengalaman paling berkesan, paling utuh seumur hidupku.”

4.

Salah satu ciri khas yang paling menawan dari dunia sang penulis adalah bagaimana kita bertemu orang-orang yang sehati sepemikiran, betapa kerapnya mereka menjadi teman seumur hidup, di tempat-tempat yang paling tengik dan paling memikat di dunia; dan bagaimana kita acap ‘dikembalikan’ ke tempat-tempat itu oleh mekanisme yang sangat berbeda dari alasan kita berada di sana untuk pertama kalinya (perang ini, misalnya).

Barangkali ini bukan sesuatu yang mengejutkan karena tema utama kami, para penulis, umumnya adalah kemanusiaan: kami menulis tak saja tentang manusia dengan segala dosa dan kesalahannya, tentang delusi, rasa berhak, kekejian, mediokritas, kemampuan berdusta dan berlaku keji, namun juga kapasitasnya untuk mencari keindahan, termasuk di balik penderitaan—dalam gagasan tentang kegagahberanian, ketangguhan, solidaritas, dan mungkin juga dalam kemampuan untuk memaafkan.

Sebab itulah hal pertama yang ingin saya katakan tentang pengalaman seperti Festival Sastra Odessa tahun 2016—festival yang saat itu baru berusia satu tahun, tapi segera menjadi salah satu serat kebudayaan Ukraina serta simpul bagi lingkaran sastra di Eropa Timur.

Yang membuat festival itu unik adalah letak geografisnya, di sebuah negara dwibahasa yang terbagi antara masyarakat berbahasa Rusia di Timur dan berbahasa Ukraina di Barat. Di sini, persaingan dan politisasi bahasa berlangsung terus-menerus.

Kelak saya memahami bahwa ‘persoalan bahasa’ kerap digunakan oleh pemerintah sebagai alat untuk mempertahankan permusuhan dan konflik. Ketika rezim Yanukovych yang korup digulingkan pada 2013, Putin menerjunkan pasukannya ke Krimea dengan alasan ingin melindungi masyarakat berbahasa Rusia di sana; pada akhirnya kita semua tahu bahwa ia akhirnya mencaplok wilayah itu. Padahal, nyatanya, baik bahasa Rusia maupun Ukraina dituturkan tanpa kendala di Odessa, kehidupan berjalan baik-baik saja, dan para penulis ternama Eropa tetap mengalir ke festival setiap tahunnya.

Kala itu, saya masih tinggal setengah tahun di Berlin dan setengahnya di Jakarta; saya sedang menulis novel dengan latar kedua kota ini. Saya belum pernah ke Ukraina maupun Rusia, walaupun selalu ada keinginan untuk berkunjung. Perlu saya sebutkan bahwa keinginan itu banyak diinspirasi oleh Dancing in Odessa, himpunan puisi Ilya Kaminsky, seorang penyair Amerika kelahiran Odessa, yang pertama kali saya baca pada 2006—sebuah karya yang luar biasa karena setiap kali saya membaca sajak-sajak itu hati saya serasa tercabik-cabik.

Ketika diundang tim festival untuk menjadi penulis tamu, salah satu hal pertama yang membuat saya terkesan adalah tema sebuah panel diskusi di antara sekian banyak panel lainnya yang mereka usulkan. Panel itu berharap menyajikan perbandingan: mengkaji pengalaman orang-orang yang tinggal di kawasan tepi pantai—seperti saya di Jakarta, dan dua panelis lain dari Yunani dan Argentina—dan bagaimana pengalaman ini membentuk kami. Seberapa banyak yang berubah antara dulu dan sekarang, seberapa pesatnya kota-kota kami tengah tenggelam, dan kenapa.

Saya sendiri sudah amat kerap menghadiri festival sastra di seluruh dunia, dan sudah biasa menghadapi panel diskusi yang temanya hambar, kurang pantas secara politik, atau keterlaluan aneh atau nyentriknya. Namun, yang satu ini entah kenapa membuat saya penasaran.

Pada kenyataannya, saya tumbuh besar, pada era tujuh puluhan, di kawasan perumahan yang lebih dekat dengan pusat kota; ada sekitar 25 kilometer yang membentang antara pantai dan rumah kami. Namun, bayangan tinggal di ‘tepi pantai’ entah mengapa tak terlalu asing bagi saya, Dulu, orang tua biasa membawa saya ke pantai pada hari Minggu, sekitar dua minggu sekali, di masa ketika macet bukan bagian dari kosakata sehari-hari, hingga kami bisa dengan mudahnya menghabiskan separuh hari di sana. Maka saya menulis kepada panitia festival, yes, I’d love to go.

5.

Sebulan kemudian, saat pesawat terbang yang saya tumpangi sudah hampir mendarat di Odessa, ada dua hal yang menonjol yang saya lihat dari balik kaca pesawat. Pertama, laut yang indahnya nyaris tak terdeskripsikan: begitu luas, begitu biru begitu hening. Lucu juga, meskipun berasal dari negara 17.000 pulau, rupanya saya lupa rasanya memandang lautan dari langit, selagi pesawat turun perlahan, kian mendekat ke daratan. Perasaan yang sungguh menakjubkan—yang mampu meredam ego manusia dan mengubah persepsi kita tentang dunia. Rasanya, kita menjadi kecil dan begitu tak berarti, setitik debu di alam semesta.

Baru saja saya ingin bersandar pada perasaan tadi, muncul pemandangan kedua. Mendadak, begitu saja: jajaran bangunan pencakar langit yang jeleknya ajubillah setan, bagaikan deretan bisul yang mencemari pesisir, tak ubahnya Jakarta pada masa ini. Barangkali, perlu saya sebutkan di sini bahwa wilayah tengah kota Jakarta, yang penduduknya 11 juta saat itu dan terus tumbuh sebesar 3,7 persen per tahun, pada 2014 mencatatkan imbal investasi tertinggi di dunia untuk properti mewah. Sungguh tak sulit bagi saya untuk membayangkan bahwa Odessa pun bergulat dengan tantangan-tantangan yang mirip: masalah ketersediaan air, layanan kebersihan dan transportasi, yang kemudian diperparah oleh perubahan iklim dan pertumbuhan penduduk, ketika masyarakat berebut sumber daya yang tidak mencukupi dan buruk pengelolaannya.

Saat diskusi berlangsung, kami jadi saling ngeh bahwa masalah-masalah kami ternyata tak jauh berbeda: korupsi (Indonesia dan Ukraina sama-sama punya reputasi buruk dalam hal ini), sistem birokrasi yang ‘gemuk’, alokasi sumber daya yang sangat rentan terhadap manipulasi politik, dan ketiadaan visi yang jelas tentang arah pembangunan kedua kota dalam lima puluh tahun ke depan.  Anggaran negara kembang kempis dan kerap diselewengkan, sementara infrastruktur seperti sistem pembuangan air, saluran pembuangan badai, dan pengelolaan sistem tenaga listrik belum memadai.

Selain itu, Jakarta dan Odessa sama-sama mengalami penurunan tanah yang signifikan akibat meningkatnya permukaan air laut oleh pembangunan yang terlalu pesat di daerah pesisir. (Ya, kedua kota kami sama-sama tengah ‘tenggelam’, dan sayangnya kami bukan Venesia yang puitis.)

Luar biasa memang—bagaimana forum-forum diskusi tertentu mampu membuat kita lebih cepat akrab.

6.

Dalam salah satu suratnya, Alexander Pushkin, yang tinggal di Odessa antara tahun 1823 dan 1824, menggambarkan kota ini sebagai kota yang “udaranya dipenuhi warna sekujur Eropa, bunyi bahasa Prancis yang dituturkan, serta surat-surat kabar dan majalah-majalah Eropa yang menyediakan diri untuk dibaca.” Gambaran ini masih berlaku, rasanya, saat saya jalan-jalan di Primorskiy/Pusat Kota; jangan lupa, kota ini sempat menikmati sentuhan artistik Duc de Richelieu yang, setelah melarikan diri dari Revolusi Prancis, pernah bergabung dengan pasukan Catherine The Great saat berperang melawan Turki, lantas menjadi gubernur di Odessa.

Pada hari kedua festival, saya jalan-jalan keliling kota dengan beberapa kenalan baru sesama penulis. Dengan santai dan penuh tawa, kami melewati beberapa jalan ‘sastrawi’—Jalan Pushkin, Jalan Bunin (1), dan Zhukosgovo (2)--sebelum akhirnya tiba di Museum Sastra Odessa, tempat sebagian besar program festival berlangsung.

Salah satu teman baru saya adalah novelis Yunani sekaligus pembicara utama di festival itu. Amanda Michalopoulou namanya. Hari sebelumnya, Amanda juga menjadi panelis dalam panel “Hidup di Kota Tepi Pantai.” Kami menjadi dekat setelah saya bercerita tentang sebuah pulau tropis yang rimbun, yang dulu sering saya kunjungi bersama orang tua saya. Kini, terumbu karang yang cantik di perairan sekitar pulau itu telah musnah oleh bom ikan sejak beberapa tahun lalu (dan dengan demikian runtuh pulalah salah satu kenangan masa kecil saya yang paling berkesan).

Kami juga ngobrol perihal kematian, dan juga perihal kehidupan—tentang mitologi, tentang puisi, tentang Homer, dan tentang bagaimana dua filsuf Yahudi berkebangsaan Prancis Simone Weil dan Rachel Bespaloff (yang terakhir ini berasal dari Yahudi Ukraina), sama-sama menggunakan epos Yunani Iliad, di ambang serbuan Hitler ke Polandia, sebagai teks rujukan dalam esai penting mereka tentang manusia dan kekerasan, dan tentang bagaimana mitologi memberdayakan kita dalam memaknai sejarah kelam yang kerap terulang.

Pagi harinya, kami berlayar dengan beberapa penulis lain dengan sebuah kapal pesiar yang disewa oleh panitia festival. Untuk mencapai dermaga, kami harus berjalan menuruni Tangga Potemkin yang tersohor itu—tangga raksasa yang diabadikan dalam film Battleship Potemkin, dan yang pada hari itu berkilau-kilau diterpa sinar matahari pagi. Dari atas kapal, Odessa tak tampak selusuh apabila dilihat dari tengah kota; anehnya, kota itu malah tampak hidup: padat, berkarakter, bahkan percaya diri di tengah segala kenorakan sejumlah gedung tinggi yang menjulang sepanjang pesisir.

Di tengah gemerlap sejarahnya, dan juga new money-nya kini, Odessa bukan kota yang makmur: bagian besar dari kota itu masih tampak suram, kelabu, gersang. Kami tak menemukan satu pun restoran Asia atau kedai yang menjual kopi enak—lambang memalukan gaya hidup global abad ke-21—dan di jalan, kami melihat banyak trotoar yang rusak dan tempat-tempat sampah yang meluap dalam abai.

Namun, kesan terdalam tentang kota ini yang tetap paling membekas bagi saya adalah yang dikatakan Michael Lewis mengenai Reykjavík: bagaikan “kota yang duduk di atas bentangan bom”: “Bom itu belum meledak, namun sumbunya sudah disulut dengan api.” Perasaan itu timbul lagi di dada ketika saya mendengar, sambil menulis esai ini, bahwa sebentar lagi Rusia akan membombardir Odessa.

“Ada Odessa dalam Hal-Hal” kata Aleš Steger, penyair Slovenia ternama, seorang lagi teman baru saya. Kata-kata ini ia ucapkan dua kali, sekali saat kami sedang berjalan kaki di tengah kota pada hari-hari awal festival dan sekali sebelum kami berpisah, usai festival. Ia percaya ada Hal-Hal—Things—di luar dunia fisik—seperti saat kita menginginkan sesuatu—yang terbentuk dari unsur-unsur spiritual yang penting bagi kita, yang menciptakan hal-hal yang bisa ditangkap oleh nalar dan yang berada di luar nalar, yang punya kehendaknya sendiri, lepas dari dirinya sendiri, apalagi dari naratif dan keinginan kita.

Oleh sebab itulah, Hal-Hal semacam itu acap lebih kuat dan lebih kokoh ketimbang kealpaan serta kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia. Mengutip kata-kata Aleš, “Kita bisa hancurkan benda, dokumen, jejak, tapi ada ‘Hal-Hal’ tertentu, dan ‘Odessa-Odessa’ tertentu yang tak bisa dimusnahkan.”

7.

Setelah saya mengirim sejuta pesan ke teman-teman saya di seluruh dunia mencemaskan Odessa yang berada di ambang punah, salah satu tanggapan pertama yang saya terima adalah dari Amanda. Ia mengirim sepucuk foto: kami berdua, duduk di tangga megah di Museum Sastra Odessa—sebuah kuil sastra yang tak ada duanya. Seketika itu juga, imaji-imaji lama pun muncul kembali bergegas-gegas.

Di antaranya: Ruang-ruang khusus yang didedikasikan untuk Maxim Gorky, Vladimir Mayakovsky, Anna Akhmatova. Ruang hijau berlapis emas untuk Pushkin seorang. Aula Emas: teragung dari semuanya—di mana, usai berdiskusi tentang novel perdana saya dengan kritikus sastra asal Jerman, Michi Strausfeld, saya menyempatkan duduk di dekat setumpuk gulungan manuskrip tua yang disusun di atas meja-meja raksasa di sebelah sebuah grand piano. (Ruangan itu sendiri dikenal sebagai ruang konser terbaik di Odessa. Almarhum ayah saya, seorang pemain biola yang cukup baik ketika ia masih mahasiswa di Berlin, pasti senang sekali kalau bisa menonton David Oistrakh tampil di sana.)

Sementara itu, para penulis Rusia yang tergabung dalam  “Mazhab Odessa” semenjak awal abad ke-20—dan yang memainkan peran penting dalam membentuk “bahasa Odessa”, campuran bahasa-bahasa Rusia, Ukraina, Yahudi, Jerman, Polandia, Yunani, dan Italia dipapan-rampatkan dalam satu ruangan, agaknya karena status mereka yang tidak terlalu diakui oleh rezim Soviet kala museum itu didirikan: segelintir karya Kataev di sini, Ilf dan Petrov di sana. Bahkan Isaac Babel putra bangsa kebanggaan Odessa, tak mendapatkan posisi yang menonjol.

Meskipun sudah agak tak terawat, museum itu memiliki asal-usul yang luar biasa: bermula pada 1898, di istana Pangeran Gagarin, sebagai Masyarakat Artistik Susastra Odessa, pembangunannya sebagai sebuah museum baru dimulai pada 1977, melalui visi seorang Nikita Byrgin. Byrgin, seorang jurnalis yang juga mantan anggota KGB, menggunakan kecerdikan dan koneksinya untuk mengatasi kesulitan yang ia hadapi saat ingin meluncurkan sebuah proyek kesusastraan yang serius di bawah sebuah rezim yang opresif. Meski baru dibuka untuk umum pada tahun 1984, museum itu memang mengesankan: ada sekitar 300 penulis yang karyanya terepresentasikan di sana, yang masing-masing punya hubungannya sendiri dengan Odessa—dari karya-karya kanon sampai avant garde, dari mereka yang pernah berkunjung dan menulis tentang kota itu, sampai yang lahir di sana.

Tapi bukannya tak ada keluhan. “Alangkah baiknya kalau langit-langit museum bisa diperbaiki,” gumam salah seorang petugas waktu saya sedang bersiap-siap meninggalkan Aula Emas bersama Michi. “Tapi Negara memang tak punya anggaran untuk kami.”

Namun, sekarang, rasa prihatin karena langit-langit yang rusak telah digantikan oleh bayangan yang jauh lebih mengerikan—kemungkinan bahwa seisi museum rusak seluruhnya jika Putin benar-benar mengebom Odessa. Bagaimana nasib koleksi dalam 54 perpustakaan umum lainnya di Odessa, dan juga warisan signifikan sastra Yahudi modern yang disimpan di Perpustakaan Yahudi di Odessa? Kita tahu, warisan budaya adalah korban perang yang teracap tak disadari sekaligus yang paling sulit dilindungi.

Di tengah kengerian itu semua, masih ada kenangan indah lainnya dari festival itu yang masih memberi harapan, terutama malam-malam yang kami habiskan ketika para penyair seolah bangkit dari tidur yang lama. Pertama-tama, mereka naik panggung dan membacakan puisi mereka dalam bahasa aslinya. Setelah itu seorang aktor akan membacakan karya yang sama dalam bahasa Rusia dan Ukraina. Ketika puisi saya dibacakan, saya tersihir.

Meski sedikit mengenali bahasa Rusia, saya tak kenal bahasa Ukraina sama sekali, dan lebih tidak paham lagi soal persaingan antara kedua bahasa itu. Namun malam itu keduanya terdengar sungguh indah. Seseorang memberitahu saya bahwa bahasa Ukraina memiliki sejumlah kemiripan dengan bahasa Polandia, namun di telinga saya (sang mantan pianis musik klasik, dan di hati saya yang sudah terlanjur terbanjur vodka), bahasa Ukraina lebih terdengar melodinya. Lagipula, bukankah kita semua “akan memuji segala kegilaan dalam dirimu, dan/di dalam bahasa yang bukan bahasaku, bertutur/tentang musik yang membangunkan kita, musik/di dalam mana kita bergerak.” (3)

Dan, tentu saja, usai pembacaan puisi, kami menari, sesuai tradisi orang Odessa: menari “agar tidak terjatuh.” (4)

Namun, terkait dengan semua itu, pengalaman tak ternilai yang saya dapatkan dari enam hari saya di Odessa adalah menjadi saksi atas semangat dan ketangguhan orang Ukraina dalam menghadapi mala petaka. Sifat kolektif ini digambarkan oleh Zelensky dalam pidatonya di televisi sebagai ‘(bangsa yang) merdeka dan punya hati’, ketika ia bicara tentang semangat pasukan Rusia yang mulai melemah. (5)

Mulai sekarang, pertanyaan apa yang sedang kau lakukan pada 24 Februari #febr24 akan kurang lebih sama maknanya atau setara dengan pertanyaan apa yang tengah kau lakukan pada 9/11. Saya selalu berharap bahwa ini pun berlaku bagi setiap bangsa dan masyarakat yang pernah dan tengah mengalami perang—lepas dari apakah perang itu tercatat dalam  buku sejarah atau diberitakan oleh media internasional dan Tik Tok: apa yang tengah kau lakukan hari itu, ketika perang dimulai? Tapi, sedihnya, kita semua tahu bahwa tak semua perang diciptakan sama.

Dalam hal Ukraina—atau Odessa, khususnya bagi kami yang beruntung telah bersentuhan sedikit dengan penderitaan, keberanian, dan harga dirinya—kami takkan melupakan ‘Hal-Hal’ tertentu apalagi tempat itu sendiri. Tak bisa dan tak mau. Sebab, seperti kata-kata Rachel Bespaloff, putri bangsa Ukraina, “Kadang, justru pada titik kehancuranlah seseorang mencapai kejernihannya yang tertinggi.” (6)

“… The city trembled,
a ghost-ship setting sail.
At night, I woke to whisper: yes, we lived.
We lived, yes, don’t say it was a dream.”
(7)

Bait yang akan abadi dalam ingatan, sebagaimana halnya semua puisi dan kota yang kekal.

09 Maret 2022
#febr24
 

penulis

Laksmi Pamuntjak © Jacky Suharto Laksmi Pamuntjak (lahir tahun 1971) adalah penulis asal Indonesia yang buku-bukunya telah terbit di kancah internasional. Dia adalah penulis dwibahasa dan kerap mengontribusikan artikel seputar kebudayaan dan politik untuk media seperti the Guardian, South China Morning Post, Frankfurter Allgemeine Sonntagszeitung, dan Kulturaustausch.

Novel pertamanya, Amba (telah diterjemahkan dan terbit dalam bahasa Inggris dengan judul The Question of Red), meraih penghargaan dari Jerman, LiBeraturpreis 2016. Adaptasi film dari novel keduanya, Aruna dan Lidahnya (The Birdwoman’s Palate), dapat ditonton di Netflix, ditayangkan perdana di Eropa pada Berlinale International Film Festival tahun 2019.

Novel berbahasa Inggrisnya yang pertama adalah Fall Baby, diterbitkan oleh Penguin Random House SEA, dan meraih penghargaan 2020 SingaporeBook Awards for Best Literary Work. Podcast Kitab Kawin yang diproduksi berdasarkan koleksi cerpennya yang terlaris Kitab Kawin (The Book of Marriage and Mating), dapat diakses di Spotify sejak November 2021.

Laksmi juga telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi, Ellipsis (2005), The Anagram (2007) dan There are Tears in Things: Selected Poems by Laksmi Pamuntjak (2001-2016) serta empat edisi seri Jakarta Good Food Guide yang telah diganjar berbagai penghargaan.

Laksmi saat ini bermukim di Jakarta.

Catatan pustaka:
  1. Penulis cerpen Ivan Bunin adalah orang Rusia pertama yang dianugerahi Hadiah Nobel bidang Susastra pada 1953.
  2. Diambil dari nama penulis Vasily Andreyevich Zhukovsky, yang diakui secara luas sebagai salah satu mentor awal Pushkin.
  3. Baris-baris ini bisa ditemukan dalam stanza ke-7 dan ke-8 sajak “Author’s Prayer”, dalam Ilya Kaminsky, Dancing in Odessa (Massachusetts: Tupelo Press, 2004).
  4. Stanza keenam dari “In Praise of Laughter”, op. cit.
  5. Chimamanda Ngozi Adichie, Notes on Grief (New York: Knopf, 2021).
  6. Saya mengutip kalimat ini secara bebas dari esai Rachel Bespaloff, “On the Iliad”, dalam Simone Weil dan Rachel Bespaloff, War and the Iliad (New York: New York Review of Books, 2005).
  7. Dari “Dancing in Odessa”, Ilya Kaminsky, Dancing in Odessa (Massachusetts: Tupelo Press, 2004).

Top