Menilik Islam di Jerman dalam 14 hari

Hampir dua minggu lamanya rombongan beranggotakan 15 cendekiawan muslim dari Indonesia berkeliling Jerman. Mereka bertemu sesama muslim di Göttingen, Frankfurt, dan Berlin, berdiskusi dengan peneliti Islam, mengunjungi masjid, dan mendapat penjelasan di masjid-masjid di Neukölln tentang kehidupan sehari-hari di Jerman sebagai muslim. Bagaimana kesan dan pendapat mereka diungkapkan dalam galeri foto.

  • Nati Sajidah Jalaluddin
    Nati Sajidah Jalaluddin, Penulis Genre Islamic Motivation dan Konsultan Pendidikan: “Hal yang berubah dari pemahaman saya adalah makna sekuler tidak selalu agama dan negara terpisah. Di Jerman maknanya netral karena UU 1949 memberi kebebasan bagi warga untuk beragama atau tidak. Negara memfasilitasi agar warga dapat menjalankan agamanya, bahkan komunitas paling ‘nyeleneh‘ sekalipun. Menurut saya yang dilakukan Jerman justru nilai yang sangat islami, yaitu menjunjung kemanusiaan“ © Deutsche Welle
  • Husni Mubarrak
    Husni Mubarrak, Dosen Hukum Syariah UIN Ar-Raniry Banda Aceh: "Pentingnya merawat ingatan. Negara ini menjaga sejarahnya dalam berbagai rupa. Semua pengalaman masa silam itu mengantarkan Jerman pada titik kebebasan beragama. Di Indonesia kita tidak memiliki pengalaman serupa. Saya rasa perlu penulisan ulang sejarah di Indonesia, karena banyak kearifan bangsa yang belum kita elaborasi untuk menyikapi perbedaan praktik beragama." © Deutsche Welle
  • Irma Wahyuni
    Irma Wahyuni, Pengajar STKIP Muhammadiyah Bogor: “Di Jerman pemerintah memperhatikan pendidikan agama dan menghargai perbedaan. Dalam konteks praktis Jerman memberi kebebasan bagi warga untuk memilih dalam melaksanakan agama dalam bentuk apa pun. Itu demokratisasi dalam beragama yang sangat unik di Jerman. Walaupun secara sistem kenegaraan Jerman adalah sekuler, tapi kebebasan beragama sangat dijunjung tinggi.” © Deutsche Welle
  • Saipul Hamdi
    Saipul Hamdi, Dosen Studi Islam Politeknik Pertanian Samarinda: “Saya terkesan dengan kebebasan yang diberikan pemerintah Jerman dalam ekspresi keberagaman. Selama tidak melakukan tindak kriminal, masyarakat bebas berbicara dan berekspresi. Masyarakat Muslim jadinya lebih senang tinggal di negara sekuler daripada negara Islam karena banyak yang mengalami persekusi. Islam di Jerman sangat berkembang, meskipun akhir-akhir ini ada Islamophobia.” © Deutsche Welle
  • Muhammad Heychae
    Muhammad Heychael, Direktur Remotivi dan Pengajar Etika Media: “Kita belajar bagaimana Jerman menghadapi sejarah kelam mereka (NAZI). Mereka tidak menghindari sejarah kelam tersebut, sebaliknya dengan sangat dewasa menjadikan kesalahan sebagai bahan bakar untuk merawat kemanusiaan. Hal yg berbeda terjadi di tanah air. Kita bukan hanya ingkar pada sejarah 1965, tapi terus merawat fiksi sejarah yang menjustifikasi genosida pada mereka yg dituduh komunis.” © Deutsche Welle
  • Oki Setiana Dewi
    Oki Setiana Dewi, Pemain Film Religi: “Program menarik yang ditawarkan beberapa masjid yang kami kunjungi adalah mereka terbuka bagi siapa pun yang ingin mengetahui Islam, termasuk non-Muslim agar bisa hidup damai di masyarakat multikultur. Muslim di Jerman harus terbuka karena ketidakpedulian dan ketidaktahuan kita terhadap sesuatu membuat kita berprasangka buruk terhadap satu sama lain.“ © Deutsche Welle
  • Nur Hidayat
    Nur Hidayat, Mahasiswa Magister Islamic Studies UIN Surabaya, Penulis Lingkar Pena: “Saya jadi tahu bagaimana Jerman sebagai negara sekuler memberi kebebasan bagi setiap warga untuk beragama ataupun tidak. Meski masih dibatasi bahwa simbol agama tidak diperkenankan di institusi negara. Ini membuat saya semakin cinta Indonesia, meski bukan negara Islam, tapi setiap agama diberi kebebasan merayakan atau memperlihatkan simbol agamanya.” © Deutsche Welle
  • Hazim Hamid
    Hazim Hamid, Dosen Sosiologi UMSIDA, Alumni Fisipol UGM: “Sistem negara sekuler Jerman telah membentuk masyarakatnya untuk memiliki prinsip yang sangat rasionalis. Mereka memiliki kebebasan memilih paham atau gerakan sesuai dengan apa yang menjadi perspektifnya. Menariknya, pemerintah juga tetap memberikan ruang dan dukungan untuk penguatan keagamaan, termasuk kepada Islam, baik melalui komunitas agama maupun lembaga pendidikan formal.” © Deutsche Welle
  • Siti Maulia Rizki
    Siti Maulia Rizki, Pengajar di MUQ, Penyiar Radio Seulaweut Banda Aceh: “Gambaran saya sebelumnya, orang Eropa atau Jerman sangat individualis, tapi menariknya mereka justru banyak sekali terlibat dalam kegiatan sukarelawan. Mereka individualis, namun tidak egois. Apa pun latar belakangnya, menurut saya selama digerakkan oleh alasan kemanusian, relawan menjadi wadah yang tepat juga bagi kaum minoritas untuk lebih cepat berkembang dan diterima di Jerman.” © Deutsche Welle
  • Ari Armadi
    Ari Armadi, Guru Pesantren Raudlatul Mubtadiin, Aktivis NU Cariu-Bogor: “Dari berbagai diskusi dan kunjungan, saya berkesimpulan sudah ada kesadaran baik dari komunitas Muslim, jurnalis atau bahkan pemerintah mengenai bahaya radikalisme, terutama bagi kalangan anak muda. Masjid juga sudah dijadikan sarana deradikalisasi. Contohnya Masjid Turki di Berlin yang menawarkan program konsultasi untuk mengenal Islam sebagai agama yang penuh perdamaian.” © Deutsche Welle
  • Juwita Trisna Rahayu
    Juwita Trisna Rahayu, Jurnalis Antara: “Program ini membuka mata saya bahwa untuk memahami Islam dalam konteks yang lebih luas. Dan menurut saya, toleransi beragama di Jerman perlu dicontoh. Di sisi lain, media masih memegang peranan penting dalam memegang sudut pandang masyarakat. Dan ternyata di Eropa, agama juga masih digunakan sebagai senjata dalam memenangkan pemilu.” © Deutsche Welle
  • Marella Al Faton
    Marella Al Faton, Peneliti Politik Islam UI, aktivis Lazis Muhammadiyah Garut: “Kita yang berada di luar Eropa berpandangan Jerman juga bertindak diskriminatif terhadap Islam, tapi pemerintah Jerman justru mengakomodasi kebutuhan umat Muslim lewat pendidikan agama Islam di sekolah. Penekanan ini penting agar kita mengerti Jerman bukannya tak mau mengintegrasikan Islam ke budaya negaranya, tapi prinsip sekular berarti agama adalah hal pribadi & tidak dibawa ke ruang publik.” © Deutsche Welle
  • Ahmad Muttaqin
    Ahmad Muttaqin, Graduate of Al-Quran Studies at Pascasarjana UIN Yogyakarta: “The most interesting thing was the obvious academic freedom in Germany. On the three campuses we visited, we encountered various approaches to Islamic Studies and Islamic Theology, so that Islam could be understood in a dynamic context within a broader spectrum. Indonesia should be more open to studying Islam from various points of view.” © Deutsche Welle
  • Maycherlita Supandi
    Maycherlita Supandi, Mahasiswa Magister Cultural Studies UNAIR Surabaya: “Saya melihat dengan mata kepala sendiri bagaimana Muslim di Jerman sangat berhati-hati dalam menafsirkan Al-Quran. Mereka mempertimbangkan segala aspek, mulai dari konteks sosial, kultural, historis bahkan politis. Saya belum pernah menemui salah satu kelompok Islam yang cenderung menyalahkan atau mengafirkan kelompok lain, walaupun menurut saya ada juga yang tafsir kontekstualnya kebablasan.” © Deutsche Welle