Akses cepat:

Langsung ke konten (Alt 1) Langsung ke menu utama (Alt 2)

Cerita Pendek
La Rangku - Drachenflug

© canstockphoto5094806
© canstockphoto5094806

“Aku anak perempuan. Tidak boleh main layang-layang,” katamu tiba-tiba memecah kelam malam

Layang-layang yang terus diulur Wadi semakin meninggi, terus meninggi, dan tampak semakin mengecil. Hingga tinggal serupa titik bersudut empat, mengambang di bawah biru langit kemarau, meliuk-liuk di antara awan-gemawan yang bergerombol dan berarak ke utara. Ekornya yang rawing-rawing atau sayap di kedua sisinya tak lagi dapat ditangkap matanya yang telanjang. Hanya benang yang di ujung sini diikatkan pada kaleng bekas susu, terlihat agak melengkung ke bawah. Sementara ujungnya yang lain seperti begitu saja menusuk udara, menghunus awan, tetapi Wadi–anak yang terus mengulur benang gelasannya sampai habis–tahu bahwa ujung benangnya masih terikat pada tali layang-layang yang kini tampak bergoyang-goyang terterpa angin.

Dari air mukanya, tampak Wadi begitu sumringah dan berbangga diri karena berhasil menerbangkan layang-layang sampai sebegitu tinggi. Sesekali ia menari-nari di atas pematang. Direntangkannya kedua tangannya yang mungil, lalu meluncur seperti pesawat yang beberapa kali pernah melintas di atas kampungnya. Sesekali jalannya melambat seolah-olah tubuhnya kehilangan keseimbangan dan oleng, namun Wadi tak sampai terjungkal. Atau barangkali ia tengah membayangkan dirinya menjadi akrobator sirkus yang tengah meniti seutas tali. Sejurus, ia berhenti menari, tengadah ke arah layang-layang yang hampir saja menukik dan jatuh. Tangan kirinya menggenggam kuat-kuat kaleng susu penggulung benang, sedang tangan kanan menarik-melepas-menarik benang agar layang-layang tak jadi terjungkal.

“Ibu…!” teriaknya tiba-tiba. “Turunlah lagi ke bumi. Naiklah di atas layang-layangku, Ibu! Turunlah…!

Turunlah…!” teriakannya melengking, menghunus awan, mengerat langit sore. Tapi tak cukup menggetarkan surga yang memerangkap ibunya.

Seperti dikatakan Bapak setiap kali ia bertanya di mana Ibu, atau mengigau dalam demam, maka Bapak akan menjawab dengan senyuman yang terkesan agak dipaksakan-mungkin menahan nyeri-bahwa ibunya kini berumah di surga.

“Kenapa Ibu punya rumah di surga, Pak? Kenapa Ibu tidak serumah saja dengan kita?” tanyanya sengau pada suatu malam.

Dan Bapak pun mulai bercerita tentang surga, tentang taman bunga, tentang rumah megah yang di bawahnya mengalir sungai madu, sungai susu, sungai air mineral, tentang kemudahan-kemudahan dan kenikmatan-kenikmatan, tentang segala fasilitas yang tersedia dan kesemuanya cuma-cuma. Tentang segala yang diangankan begitu memesona.

“Kenapa Ibu tidak mengajak kita?” rewelnya.

“Ibu tidak akan mengajak kita, Nak. Tapi kita yang akan ke sana menemaninya. Memenuhi undangannya….”

“Tapi surga itu di mana, Pak?”

“Di atas sana. Lebih tinggi dari awan-awan, dari bintang-bintang,” kata Bapak sambil tengadah dan menunjuk bintang-bintang yang tampak bergetar di sebalik genteng kaca.

Wadi pun tengadah. Mata beningnya yang sembab mengikuti arah telunjuk Bapak yang mengacung tidak tegak lurus dengan langit malam. Dan dalam kepekatan langit, di antara bintang-bintang yang bergetar, dan ada yang menyerupai bentuk layang-layang, Wadi mencoba membayangkan paras ibunya.

Perempuan muda yang anggun, dengan rambut ikal mayang tergerai sepunggung, sebagaimana pernah dilihatnya dalam sebuah potret. Wadi melihat ibunya tersenyum. Manis seperti susu. Dan pipinya yang masih ranum merona. Orange seperti mangga. Namun, bayangan-bayangan itu berganti-ganti dengan perempuan-perempuan muda di kampungnya yang kerap mengajaknya bermain, atau dengan ibu-ibu tetangga yang beberapa di antaranya adalah janda, yang barangkali menyukai Bapak.

Dalam tidurnya Wadi bermimpi memiliki sayap, kemudian terbang bersama Bapak yang juga bersayap, menuju rumah Ibu, menuju surga. Hidup berbahagia di surga, dengan segala fasititas yang memesona dan cuma-cuma. Dan seperti sekor anak burung, esok harinya ketika ia terbangun, Wadi mulai tertatih mengepak-kepakkan kedua belah tangannya. Berlari dan meluncur. Hanya saja ia tak pernah sampai berhasil terbang. Kata Bapak, tangan bukanlah sayap. Ia mengangguk meskipun tidak paham, namun masih menyimpan rapi mimpi-mimpinya, bahwa kelak tangannya akan berubah menjadi sayap dan menerbangkannya ke rumah Ibu.

Tetapi kemudian mimpi itu pun kandas, berbarengan dengan patahnya dahan dan ranting-ranting pohon jambu air yang sebelumnya ditenggeri Mamad, teman sepermainannya. Wadi yang berada di atas pohon yang sama, hanya bisa gemetar dan ketakutan melihat Mamad terpelanting menggasak ranting-ranting, lalu berdebam rnembentur tanah kering yang diseraki kerikil. Akibatnya, tak hanya tulang tangan kiri Mamad yang remuk dan patah hingga kemudian terpaksa diamputasi, melainkan mimpinya pun ikut remuk dan teramputasi.

*

“Pak, ceritakan tentang layang-layang,” pintanya setelah musim panen tahun lalu. Biasanya, setiap tahun setelah musim panen memang digelar semacam festival layang-layang antar penduduk di kampung ini. Walau bukan festival besar-besaran yang melibatkan banyak orang, antar provinsi atau antar negara, melainkan hanya festival kecil dan sederhana untuk sekadar mensyukuri nikmat dari panen yang sebetulnya tidak terlalu melimpah. Festival layang-layang di sini hanya dilakukan antar penduduk kampung, dengan prasyarat yang juga begitu sederhana. Tak ada juri yang menilai keindahan bentuk, ketahanan mengudara, kenyaringan bunyi peuteng, dan lain-lain. Tetapi hanya layang-layang yang paling lama mandek di udara terbuka, tidak putus atau jatuh menukik yang kelak menjadi pemenangnya. Namun Wadi tidak meminta dibuatkan layang-layang seperti kebanyakan anak kampung lainnya yang merengek kepada bapaknya. Ia hanya meminta Bapak menceritakan tentang layang-layang.

Lantas Bapak bercerita tentang layang-layang pertama, tentang Kaghati dari Muna; tentang seorang raja bernama La Pasindaedaeno yang mengorbankan anaknya, La Rangku, yang kemudian di makamnya tumbuh gadung; tentang layang-layang dari daun gadung dengan benang dari serat daun nanas, Kaghati, yang diterbangkan selama tujuh hari tujuh malam, lalu benangnya diputus pada malam terakhir; tentang kepercayaan suku Muna pada Kaghati yang akan terbang mencapai matahari dan memberkati mereka.
Dan Wadi kembali memiliki mimpi, menjadi La Rangku, menjadi layang-layang dan terbang menuju matahari. Tetapi Wadi tak ingin terbang ke matahari, melainkan ia ingin terbang ke surga, ke tempat ibunya berada. Ia ingin terbang bersama Bapak, menemui Ibu, memenuhi undangannya. Hidup berbahagia dalam rumah megah yang di bawahnya mengalir sungai madu, sungai susu, sungai air mineral. Bukankah matahari dan surga sama-sama lebih tinggi dari awan-awan, dari bintang-gemintang? batinnya. Maka Wadi pun meminta dibuatkan layang-layang….

*

Malam ini, kutemukan sepi yang kerap bergayut sendu di punggungmu. Barangkali dinginnya sepi itu, sama dengan dingin malam yang diguyur hujan. Seperti malam ini, hujan yang cukup lebat telah membikin batuan licin, tanah becek, tenda terendam dan bocor, api unggun mati seketika, dan membuat hatiku semakin khawatir. Dalam keresahanku yang semakin lebat, kita berteduh dengan sia-sia. Sebab air hujan dan angin dingin yang berkesiur tetap saja membasahi pakaianku, barangkali juga pakaianmu. Meluruhkan daunan. Merontokkan beberapa dangau. Sementara gemuruh air terjun terdengar semakin keras.

Pakaianku lembap, dingin merasuk sampai tulang rusuk. Dan untuk sekadar menghangatkan badan setelah hujan mereda, kamu berniat memasak mi instan di dalam tenda yang bocor dan terendam. Nyala kompor gas masih biru memang, tapi hangatnya tak sampai ke kulitku, ke hatiku. Aku masih gigil, masih khawatir. Tetapi kamu tak peduli. Setelah mengambil air dari pancuran tanpa bicara, kamu lekas saja memanaskan air dan memasak beberapa bungkus mi. Namun entah mengapa, aku berupaya menikmati saja adegan semacam ini. Merekam setiap gerak tubuhmu, menikmati gigil, memerhatikan sepi yang semakin beku di punggungmu, dan sesekali menikmati sejuring pipimu, sesudut matamu, ketika kamu menoleh. Berpalinglah, biar sempurna sudut matamu. Dan akan kumasuki duniamu dengan diam-diam…1) Seperti layang-layangku yang terbang ke surga secara diam-diam.

Dan dengan diam-diam pula, pukul tiga dini hari, aku menemukanmu di dekat air terjun, yang entah tumpah berapa liter setiap menitnya dari ketinggian sekira dua puluh meter itu. Barangkali volumenya akan sebanding dengan air mataku setiap kali merindukan Ibu. Entahlah. Hanya saja, udara dan atmosfer di sini masih seperti tadi. Hening. Lembap. Gigit. Resah. Tinggal kerikik jangkrik yang meningkahi debur air terjun Curug Gumawang merambati malam. Dalam kondisi senyap, dingin, dan di bawah purnama yang kelam, kita masih saja berjarak satu tombak. Masih saja bungkam satu sama lain, dan mematung meski tak sungguh menjadi patung sebab sesekali menggigil dan berguncang. Dan barangkali begitulah caraku menikmati adegan demi adegan yang kita lakoni malam ini, meski tanpa banyak cakap, tanpa banyak gerak isyarat, menikmatinya dalam diam, secara diam-diam. Barangkali pula masih ada cinta, tetapi bahasa kerap tak cukup menampungnya dan tak lagi dapat dipercaya, maka diam menjadi pilihan yang paling aman.

Walaupun belakangan aku mulai curiga, jangan-jangan cinta hanya serupa gabus dengan warna yang begitu mencolok dan memikat perhatian, mengambang di atas air keruh-pekat di dalam bejana yang kunamai hati. Sebuah gabus adalah cinta kita—boleh aku, boleh Ibu, boleh juga kamu—terhadap seseorang atau sesuatu. Sementara gabus itu terus mengambang menari-nari sesukanya, semau-maunya. Warnanya semakin menyala-memikat tatkala frekuensi pertemuan dan intensitas kebersamaan terus berkesinambungan. O, betapa gabus itu kian benderang, memuntahkan cahaya yang berpendar ke segala penjuru, dan menarikan tarian paling indah sepanjang sejarah. Namun siapa nyana, sebuah tangan hujan yang perkasa dan kasat mata memukul-mukul bejana. Membikin riak yang mengembang-melingkar menjadi gelombang. Air keruh-pekat yang semula tenang pun terguncang-guncang. Sebagian bepercik-mencelat dari bejana, menguap ke entah mana, atau mungkin tandas ke tandus tanah.

Aku memandang lanskap, menghunus percakapan-percakapan. Kamu memandang lanskap, menghunus percakapan-percakapan. Tetapi mungkin juga secara diam-diam, tanpa setahuku, kamu tengah merajut mimpi dari jejaring laba-laba. Seperti mimpiku yang kurajut dari serat daun nanas.

Akh, sebetulnya aku ingin mengajakmu bercakap-cakap, bersijingkat, bermain layang-layang, berenang, belajar terbang. Namun, hujan ini cukup menggelisahkanku, meresahkanku, dan kembali mengingatkanku pada layang-layang yang pernah kuterbangkan dan kupacak empat belas tahun lalu. Adakah malam ini Ibu akan menemuiku? Atau layang-layangku kali ini akan kalah oleh cuaca? Rontok, patah, dan robek-robek. Oh… sungguh, akulah La Rangku yang terpanggang matahari setiap kali hujan mendera.

“Aku anak perempuan. Tidak boleh main layang-layang,” katamu tiba-tiba memecah kelam malam. Tetapi seperti tidak ditujukan bagi siapa pun, melainkan untuk dirimu sendiri. Ingin kutawarkan: “Mau bermain layang-layang denganku? Dan kita sama-sama menunggu Ibu memberi restu….” Namun kalimatku tersangkut di kerongkongan.
 
Catatan:
Dikutip dari sajak “Memandangmu di balik Permainan” karya Herwan FR, dengan sedikit penyesuaian.
 

Niduparas Erlang lahir tahun 1986 di Serang, Banten. Produktif menulis prosa dan telah memenangi beberapa lomba penulisan cerita pendek dan esai tingkat nasional. Bukunya, La Rangku mendapat penghargaan sebagai kumpulan cerita pendek terbaik di Festival Seni Surabaya 2011.

Top