Akses cepat:

Langsung ke konten (Alt 1) Langsung ke menu utama (Alt 2)

Cerita Pendek
Marong

© canstockphoto5692902
© canstockphoto5692902

Bila Nenek seekor kuda betina, mungkin ia akan mengendus-endus moncong si Marong. Meringkik beberapa kali sebelum pergi.
 

Kata orang, tubuh yang tadi siang dimasukkan ke liang lahat adalah tubuh Nenek. Sedangkan kuda berkulit cokelat kemerahan yang dengan setia menjaga makamnya tidak diketahui apa namanya dan siapa pemiliknya. Seorang pengantar jenazah mengatakan bahwa kuda itu datang begitu saja setelah ia dan kawan-kawannya meninggalkan permakaman selepas Zuhur. Di permakaman itu memang biasa terjadi binatang-binatang kesayangan menjaga makam tuan atau puannya yang barusan mati hingga berhari-hari lamanya. Tetapi, seingatku, Nenek tidak pernah memiliki binatang kesayangan berupa kuda, kecuali seekor kucing belang tiga.

Nenek hanya pernah melarikan seekor kuda dan itu terjadi pada suatu malam sekitar sepuluh tahun silam.
Aku mesti menceritakan kisah ini meski kalian tidak bisa mendapatkan seluruh kebenarannya dariku. Kalian harus mencari sisanya pada lain orang. Semua ini penting sebelum kalian memperebutkan kuda di makam perempuan itu. Sebelum kalian terkutuk sebagai segerombolan lelaki dungu dan menjadi bahan tertawaan orang seluruh kampung. Bila nafsu serakah kalian nekat mengabaikan peringatanku ini, kumohon tunggulah hingga aku selesai berkisah. Setelah itu, silakan….

Kata Nenek, kuda yang ia larikan bernama si Marong. Sebenarnya, kuda jantan berkulit coklat kemerahan itu kuda kesayangan Kakek. Selain pemiliknya, tidak ada orang yang boleh menaiki si Marong. Tapi malam itu, setelah bertengkar hebat dengan Kakek, Nenek melarikan si Marong tanpa diketahui empunya. Nenek mencongklangnya di bawah sinar bulan purnama, di antara rindang rumpun bambu, menerobos malam yang membuat tubuhnya seperti kelebat hantu. Sejak itu Nenek dinyatakan hilang.

Kakek tidak berusaha mencari Nenek dan si Marong. Anak-anaknya—yang dikenal dengan sebutan “Lelaki Lima Jari”—juga tidak. Tentang si Marong, Kakek menjamin bahwa pada suatu ketika kuda kesayangannya itu akan kembali. Sedangkan tentang Nenek, Kakek memberi penjelasan lebih panjang. Bahwa ia tidak pernah mengusir Nenek, apalagi menalaknya. Jadi, ia tidak perlu mencari Nenek dan memintanya kembali. Kalau Nenek mau kembali, toh ia tahu jalan pulang dan pintu rumah tak pernah dikunci untuknya. Tapi Nenek tidak pernah kembali hingga Kakek meninggal lima tahun kemudian.

Kakek mati dengan wajah yang tidak terlampau bahagia. Tujuh hari setelah itu seorang perempuan memasuki permakaman dengan menunggang kuda jantan berkulit cokelat kemerahan. Apakah perempuan itu Nenek dan kuda itu si Marong? Tiga dari empat anak muda yang sedang main kartu di pojok permakaman mengakui kalau itu memang Nenek. Hanya satu yang menyangkal. “Gigi depan Nenek tidak gompal dan pipinya tidak codet,” begitu kilahnya. Empat anak muda itu juga membenarkan kalau kuda itu si Marong, meski mereka sama bertanya tentang satu hal. “Kenapa ringkiknya jadi sember dan mirip suara keledai?”

Empat anak muda itu kemudian mengucapkan selarik kalimat, “Burung gelatik si ikan betok.”

Dengan tatapan yang tetap lurus ke makam Kakek, perempuan itu langsung menyambut, “Nenek cantik teteknya montok.”

“Tidak salah lagi, itu Nenek kita,” anak-anak muda itu berteriak kegirangan. Setelah itu mereka saling menelan ludah yang serasa susu sapi segar. Kembali membanting-banting kartu sambil bersiul-siul. Riang dan penuh nafsu.

Perempuan yang dengan suara bulat diakui sebagai Nenek itu kemudian jongkok di samping pusara Kakek. Ia tidak berdoa, apalagi menabur bunga sebagaimana umumnya peziarah. “Lima tahun lalu aku hampir mati di tanganmu,” katanya, “lima tahun kemudian kau benar-benar mati bukan di tanganku. Tapi aku datang ke sini tidak dengan ketololan dan kesedihan seorang perempuan yang pernah kausiksa.”

Cukup lama Nenek terdiam. Tiba-tiba ia merasa ada seekor ulat bulu menjalari ujung lidahnya. Seluruh lidahnya menjadi teramat gatal dan ia benar-benar ingin mengatakan apa saja tentang Kakek. Tanpa kehilangan girang hati yang serupa rasa mangga muda, Nenek kemudian memaki-maki Kakek, bahkan dengan menyebut sejumlah nama binatang dan perabotan dapur rusak. Sebenarnya, Nenek hanya mengulang apa yang pernah dikatakan Kakek semasa hidup. Nenek mengganti sejumlah kata sehingga kalimat-kalimat itu kedengaran sebagai miliknya sendiri. Setelah menggaruk-garuk pantat, Nenek bangkit dan menghampiri si Marong yang ditambatkan di sebatang kemboja. “Jaga dia baik-baik,” kata Nenek.

Jika kuda itu manusia, maka ia akan menjawab, “Baiklah, Nenek Bertetek Montok. Tapi kenapa kau memeluk leherku keras sekali sehingga membuatku tercekik.”

Bila Nenek seekor kuda betina, mungkin ia akan mengendus-endus moncong si Marong. Meringkik beberapa kali sebelum pergi.

*

Dari makam, Nenek tidak langsung ke rumah yang pernah ditempatinya bersama Kakek. Ia lebih dulu mendatangi seorang lelaki yang bertugas memandikan jenazah Kakek. Lelaki dengan wajah separuh terang separuh gelap dan sesekali nyengir seperti si Marong. Saat pertama kali menatap Nenek, lelaki itu langsung menelan ludah.

“Apa yang sebenarnya membikin si tua bangka itu mati?” tanya Nenek.

“Di malam kelahiran Nabi kita, tiga lelaki hitam bersepatu putih menerobos kamar suamimu,” Si Pemandi Jenazah membuka cerita. “Tiga lelaki hitam bersepatu putih itu tidak mengambil satu pun harta benda suamimu, kecuali menanyakan ke mana kau membawa lari si Marong. Tetangga-tetangga kemudian mendengar suamimu meneriakkan sesuatu dan tiga lelaki hitam bersepatu putih itu kalap. Tiga lelaki hitam bersepatu putih itu kemudian menyeret suamimu ke altar batu merah di belakang rumah dan menyembelihnya di sana. Tenggorokannya seperti selang putus.”

“Di malam kematian Nabi kita, aku bermimpi si tua bangka itu memakai jubah merah dan sepatu putih. Ia menari di atas altar batu hitam, entah di mana. Si Marong meringkik terus-menerus dan menjentil-jentilkan kakinya hingga aku terbangun menjelang fajar. Mungkin ia melihat arwah tuannya lewat.”

“Sekarang di mana kausembunyikan si Marong?”

“Sudah kukembalikan kepada tuannya.”

“Orang mati tidak lagi butuh kuda.”

“Siapa bilang? Orang mati justru lebih membutuhkan kuda ketimbang kita yang masih hidup. Terutama untuk melintasi jembatan yang katanya seperti rambut dibelah tujuh. Atau untuk lari dari malaikat penjaga kubur jika mereka marah-marah.”

“Jangan mengolok-olok orang mati. Berdosa mempermainkan malaikat.”

“Di masa hidupnya si tua bangka itu mengolok-olok orang mati dan orang hidup. Bahkan, dia pernah menyiksa kucing kesayanganku hingga mampus.”

“Kalian tidak pernah bosan menjadi anak kecil. Berhentilah saling bermusuhan. Maafkan dia dan doakan agar arwahnya tenang di alam baka.”

“Aku selalu berusaha memaafkannya meski tidak pernah bisa. Sejak dia melewati pertarungan terakhirnya dengan susah payah. Namun, setelah bertarung semalaman dia berhasil menghabisi musuh utamanya, ayahku sendiri, dan membawa lari aku. Di malam ulang tahunku yang ke-19 dia merenggut keperawananku.”

“Oohh….”

Si Pemandi Jenazah kembali menelan ludah. Ia ingin mengenang masa-masa paling nikmat dalam hidupnya. Tapi mata Nenek yang serupa bara kayu asam jawa mengurungkan niatnya. Sebagai gantinya, lelaki itu bercerita tentang anak-anak Kakek yang bertengkar hebat soal harta warisan. Mereka sudah bertengkar sebelum darah dari luka Kakek mengering. “Tidak seperti Nabi kita, mereka kelewat bernafsu pada harta dan dunia,” kata lelaki itu.

“Sudah kuduga,” balas Nenek. “Mereka gerombolan semut api yang mengepung bangkai seekor ayam jago.”

“Kau harus menyiram gerombolan semut itu dengan minyak tanah sebelum mereka menggasak habis bangkai ayam jago dan merajalela ke seluruh kampung.”

“Semut-semut api memang selalu menyusahkan yang mati dan yang hidup, tetapi aku tidak akan menumpas mereka. Toh ada pemangsa lain yang bakal menghabisi mereka. Kata orang, itu semacam rantai makanan.”

“Aku sungguh tidak mengerti jalan pikiranmu.”

“Aku sungguh sangat mengerti jalan pikiranmu,” kata Nenek setelah lelaki itu menelan ludah untuk ketiga kalinya. “Sekali waktu kau harus memandikan mayat seorang perempuan.”

Sebelum Nenek benar-benar pergi Si Pemandi Jenazah sempat pula mengucap kalau jalan ke rumah Kakek sudah berubah. Tidak lagi dengan lima tikungan, dua ke kiri tiga ke kanan, tetapi lurus beraspal dengan tiang-tiang listrik dari beton. Ada gardu ronda berwarna merah di depan rumahnya. Lengkap dengan gambar kepalan tangan kanan mengacung di dindingnya. “Anak-anak suamimu mulai suka menyanyikan lagu-lagu perjuangan,” tambah lelaki itu.

*

Rumah Kakek memang sudah ditongkrongi oleh Lelaki Lima Jari. Ketika Nenek tiba, mereka sedang berkumpul di ruang tengah. Wajah mereka mengambang di antara genangan asap rokok. Kata Nenek, tak ada yang lebih membikin perut mual selain menyaksikan mereka berdebat. Lidah mereka yang setajam paku karat akan saling menusuk dan membelit—karena itu aksi mereka kemudian disebut “bersilat lidah.” Suara mereka melebihi kaing anjing, bergema hingga ke tebing-tebing batu di ujung kampung. Mulut mereka tak henti-henti membikin gerimis. “Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur,” kata si Jempol dengan gaya seorang pemimpin partai gurem.

Namun, di mata Nenek, mereka tak ubahnya kaum gerombolan yang sedang merancang aksi penggarongan. Dalam kisah-kisah petualangan yang pernah dituturkan ayahnya, Nenek mengakui begitulah keyakinan setiap anggota gerombolan. Seakan-akan mereka adalah orang-orang pilihan yang dilahirkan di malam keramat dan bertugas membangun sorga di bumi. Lantas mereka akan melakukan tindakan-tindakan nekat, bahkan tidak masuk akal, dan akan selalu dikenang oleh anak-cucu mereka dengan rasa bangga yang senantiasa berlebih-lebihan.

“Aku tahu kehadiranku mengganggu kalian. Tapi izinkan aku unjuk omong dalam pertemuan ini. Walau tidak pernah melahirkan kalian, aku pernah selama 19 tahun menjadi istri almarhum. Meski aku juga punya hak atas warisannya, aku tidak akan menagih sepeser pun. Biarlah kalian saja yang berbagi. Aku kemari hanya untuk berpamitan dan tidak akan kembali lagi ke rumah ini. Terima kasih untuk tahun-tahun yang membuatku tabah, untuk seekor kuda yang baik hati. Cepat ambil si Marong di kuburan jika kalian tidak ingin kehilangan warisan terpenting,” kata Nenek.

“Oh, sebagaimana kata ayah kita, akhirnya kembali juga warisan yang kita cari-cari selama ini,” kata si Telunjuk.

“Kita tidak perlu lagi memaksa…,” tambah si Kelingking.

“Ya, kita tidak perlu lagi menyatroni kampung-kampung untuk mencarinya,” si Jempol memotong.

“Tapi si Marong hanya seekor, sedangkan kita berlima?” kata si Jari Manis.

“Sebagai saudara tertua, akulah yang paling berhak atas si Marong,” kata si Jempol.

“Bukankah kau mendapat bagian warisan paling banyak? Kenapa pula masih menginginkan si Marong,” sergah si Jari Tengah.

“Aku bukan hanya paling tua, tetapi juga pemimpin kalian, pengganti Ayah,” suara si Jempol menggetarkan piring dan gelas di atas meja.

Mulut empat lelaki itu kontan terkunci. Nenek menyeringai, menampakkan gigi depannya yang gompal. Si Jempol menyeruput sisa kopi.

Diam-diam Nenek menyingkir dengan alasan ingin kencing di kamar mandi di belakang rumah. Sebenarnya, Nenek ingin segera sampai ke altar batu merah yang terletak empat langkah dari lubang sumur. Tumpahan darah di altar yang disebut-sebut sebagai tempat penyembelihan suaminya itu sudah dibersihkan dan bunga warna-warni di atasnya mulai berwarna seragam: kecoklatan. Tetapi Nenek masih bisa mencium aroma kematian yang penuh tanda tanya di situ. Bagaimana mungkin seorang petarung tangguh semacam Kakek bisa tidak berdaya menghadapi tiga lelaki hitam bersepatu putih? Bukankah di pertarungan pamungkasnya dulu ia menghabisi puluhan petarung sebelum akhirnya melarikan Nenek yang masih belia di atas punggung si Marong? Apakah memang malam kelahiran dan kematian Nabi adalah saat apes seorang jawara seperti Kakek? Sejak kapan jalan setapak di bawah rimbun rumpun bambu itu penuh tahi kuda?

Nenek membiarkan pertanyaan itu berputar-putar di kepalanya seperti angin puyuh. Langkahnya ikut-ikutan sempoyongan. Arah mata angin di sekelilingnya seperti bertukar-tukar tempat. Matahari seperti akan terbenam di pangkal pohon jamblang dan sungai kecil yang dilewatinya seakan-akan bermuara di comberan dan sekawanan burung pipit yang terbang rendah terlihat meledak di kandang kambing. Lantas kembang api warna-warni meletus di antara pepucuk pohon pisang. Namun, ia sampai juga di sebuah warung kopi.

*

Sementara di ruang tengah rumah Kakek, perdebatan masih berlangsung dan Lelaki Lima Jari belum sepakat tentang siapa yang berhak menunggangi si Marong. Akhirnya mereka berangkat ke permakaman. Mereka ingin sekali melihat kuda yang sudah lima tahun mereka cari-cari dan membuat mereka saling memaki tanpa belas kasihan. Namun, di permakaman kini sudah ada lima ekor kuda jantan dengan kulit coklat kemerahan. Bentuk tubuh mereka sama persis. Ringkikan mereka sulit dibedakan satu sama lain.
Apakah semua itu si Marong?

Empat anak muda di pojok permakaman itu sudah tidak ambil peduli. Mereka sedang mabuk oleh sejerigen minuman keras oplosan. “Burung gelatik si ikan betoookkk… ooooohhhh….”

Mengapa ada lima ekor kuda yang sama persis di makam Kakek?

Teka-teki ini belum pernah terjawab hingga kukisahkan cerita ini. Di kampung itu memang ada orang yang bisa menggandakan uang dan barang perhiasan dan kehebatannya tersebar ke seluruh kampung. Tetapi belum pernah terbukti kalau ia bisa menggandakan binatang ternak, atau hewan kesayangan seperti si Marong. Memang pernah ada beberapa orang yang menjadi babi untuk mendapatkan kekayaan. Atau menjadi seekor tikus got hanya untuk mengintip seorang perempuan mandi. Tetapi belum pernah ada yang mau menjadi kuda hanya untuk diperebutkan oleh lima lelaki sinting. Hampir semua orang di kampung itu percaya pada sebuah kisah kitab suci bahwa dahulu kala pernah hidup sekelompok umat yang dikutuk menjadi monyet lantaran melanggar larangan Tuhan. Tetapi untuk apa Tuhan mengutuk manusia menjadi kuda? Mungkin kalian akan menduga Neneklah yang menggandakan si Marong? Kalian akan kecewa. Alih-alih menjawab pertanyaan ini, Nenek malah memberikan teka-teki baru.
“Yang asli akan abadi. Yang palsu bakal hancur seperti debu. Ada kuda bawa bendera.” Hanya itu yang dikatakan Nenek kepada orang-orang di warung kopi sebelum ia pergi.

*

Hingga aku pergi ke kota dan tidak pernah lagi bertemu dengannya, bahkan ketika ia mati sekalipun, Nenek tidak pernah mau berterus terang kenapa ia meninggalkan sepenggal teka-teki di makam Kakek dan di warung kopi. Yang jelas, kalimat Nenek itu membuat para penjudi bergairah dan mereka tak henti-hentinya berdebat untuk membuat tafsiran yang paling jitu.

“Ini bukan syair para penjudi,” kata satu di antara mereka.

“Hanya omongan orang sinting,” ujar yang lain. “Kosong.”

“Kau jangan salah. Orang seperti itu banyak menolong kita,” kata penjudi yang sejak awal diam. “Kita tidak boleh menghinanya.”

“Berkali-kali aku pasang kuda dan tesyen-nya, tapi tidak pernah keluar,” bantah yang lain lagi.
“Jadi penjudi mesti sabar. Aku yakin ada sesuatu di balik kalimat itu, tapi hingga kini aku memang belum bisa menyibakkan maknanya.”

Sementara di tengah permakaman, anak-anak Kakek juga tak henti-hentinya berdebat. Terutama soal asal-usul lima ekor kuda itu dan manakah si Marong yang asli mana pula yang palsu. Mereka ingin bertanya pada Nenek, tetapi yang dimaksud sudah pergi entah ke mana.

“Perempuan itu sudah mengerjai kita,” kata si Kelingking sambil meludah berkali-kali.

“Aku sendiri sangsi apakah dia memang benar-benar istri ayah kita. Jangan-jangan, dia orang lain yang dikirim musuh-musuh kita dan menyamar sebagai istri ayah kita,” tambah si Jari Tengah.

“Kalau dia kiriman musuh kita, kenapa dia tidak langsung membunuh kita saja?” sergah si Jari Manis.

“Bisa jadi dia tidak mau membunuh kita dan hanya kepingin mempermalukan kita,” balas si Jari Tengah.

“Kita harus waspada terhadap berbagai kemungkinan. Semangat, semangat…,” kata si Jempol.

“Kita tetap harus mencari si Marong yang asli, sebab itulah warisan terpenting ayah kita,” kata si Kelingking.

“Kita sudah mengobrak-abrik seluruh kampung dan menyatroni setiap pemilik kuda, tetapi hasilnya nihil,” kata si Jari Manis.

“Kita harus mewaspadai semua perempuan berusia sekitar 40 tahun. Terutama yang gigi depannya gompal dan pipinya codet,” kata si Jempol.

“Kita harus meringkus istri Ayah yang asli dan memberinya pelajaran berharga sebab sudah mempermainkan lima kesatria sejati,” tambah si Telunjuk.

“Ya, inilah akibatnya kalau kita tidak dekat dengan Ayah dan istri barunya,” kata si Jari Manis. “Kita tidak benar-benar mengenal paras dan tingkahnya.”

“Bagaimana kita mau dekat dengan Ayah, jika sejak mengawini perempuan itu, dia meninggalkan kita dan membiarkan Ibu mati tanpa kasih sayang,” kata si Telunjuk.

“Sudah, sudah,” kata Si Jempol. “Jangan ungkit-ungkit lagi masa sulit itu. Untuk sementara cukuplah kuda-kuda ini. Mencari si Marong yang asli tetap penting. Tetapi yang jauh lebih penting adalah perjuangan kita. Ingat….”

“Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur,” sambut si Kelingking.

“Yuhuuuu!” balas yang lain sambil mengepalkan tangan ke udara.

“Senantiasa kuda-kuda adalah sahabat sejati para kesatria,” kata si Jempol.

“Yuhuuuu!”

Sejak itu kelima anak Kakek kerap kali menunggangi lima kuda berwarna coklat kemerahan. Mereka sama menyebutnya si Marong. Setiap menjelang senja mereka berkeliling kampung sambil menyanyikan larik-larik berikut ini: “Jika lima jari bersatu, sebuah kepalan lahir. Tembok mercusuar sekalipun bakal hancur. Yuhuuuu….” Si Jempol berjalan paling depan dan memegang sebatang tongkat dengan bendera besar di ujungnya. Merah dan ada gambar kepalan tangan kanan mengacung berwarna keemasan. Yang lain mengacung-acungkan pedang dan golok ke udara. Sementara anak-anak kecil mengikuti mereka dari belakang. Ikut bernyanyi dan mengacung-acungkan pedang-pedangan dari bambu.

Yuhuuuu…
 

Zen Hae lahir di Jakarta tahun 1970. Ia menulis puisi, cerita pendek, dan kritik sastra. Kumpulan puisinya, Paus Merah Jambu mendapat penghargaan “Karya Sastra Terbaik 2007” dari majalah Tempo dan Lima Besar Khatulistiwa Literary Award 2007. Selain sebagi penulis dan penyunting, dia pernah bekerja sebagai wartawan, dosen paruh waktu, pekerja LSM, aktor, dan anggota komite Dewan Kesenian Jakarta. Sejak 2012, Zen Hae menjadi manajer penerbitan di Komunitas Salihara.
 


 

Top