Tentang Malaikat dan Monster dan Perempuan yang pergi - Goethe-Institut Indonesia

Akses cepat:

Langsung ke konten (Alt 1) Langsung ke menu utama (Alt 2)

Citra Gender dalam Sastra
Tentang Malaikat dan Monster dan Perempuan yang pergi

Monster dan Malaikat? Di sini dalam film “Snow White and the Three Stooges” garapan Walter Lang (1961)
Monster dan Malaikat? Di sini dalam film “Snow White and the Three Stooges” garapan Walter Lang (1961) | Foto dari film (Detail): © picture alliance

Sastra Barat sejak dahulu diwarnai oleh persepsi gender yang bersifat stereotip. Mitos dan dongeng, sastra klasik dan modern penuh dengan pahlawan laki-laki yang gagah berani dan tokoh perempuan yang menanggung derita dengan tabah. Ada apa ini sebenarnya dan apa sesungguhnya yang dinegosiasikan?

 

Pada saat ketika kita ingin meninggalkan citra gender yang biner, gambaran klise lama mengenai pembagian peran tetap tersisa, antara lain dalam karya-karya sastra yang telah menjadi bagian dari kanon. Karena itu sangatlah penting untuk merenungkan apa sesungguhnya cerita mengenai gender yang disampaikan kepada kita melalui sastra.

Dalam karyanya yang berjudul The Second Sex, Simone de Beauvoir pun telah menyatakan bahwa perbedaan kultural antara laki-laki dan perempuan adalah laki-laki menaklukkan dan perempuan menjadi tawanan mereka. Kaum laki-laki mengarungi dunia, menjelajah, menemukan dan menciptakan, sementara kaum perempuan tinggal di rumah dan mengurus anak-anak. Pakar sastra asal AS Maria Tatar telah mengungkapkan bukti-bukti mengenai pola-pola cerita berdasarkan gender dalam mitos, saga, dan dongeng. Putri Salju, Cinderella, Putri Tidur dan para saudari mereka tertawan di istana, di taman, di dalam menara, menanti dengan pasrah sementara seorang laki-laki bertolak untuk mencari mereka, menghadapi dan menaklukkan lawan, dan akhirnya tampil sebagai pembebas sehingga dapat memiliki perempuan bersangkutan.

Dalam mitos-mitos Yunani kuno pun kaum perempuan tidak ditakdirkan untuk bertindak, melainkan untuk menantikan kaum laki-laki dan melahirkan anak-anak mereka. Ada Danaë, Europa dan Leda, yang dihamili oleh Zeus - dalam wujud hujan emas, banteng putih dan angsa - kemudian menurunkan putra-putra yang perkasa dan siap bertualang. Ada Andromeda, yang dihukum karena ibunya membanggakan kecantikannya sehingga ia terpaksa merana dalam keadaan dirantai ke batu karang, sampai ditemukan dan dibebaskan oleh Perseus yang heroik. Jumlah perempuan yang disengsarakan dan dizalimi ini jauh melampaui jumlah para dewi sejati seperti Atena yang bijak, Artemis yang liar, dan Afrodite yang anggun, semuanya entitas supranatural yang melambangkan konsep-konsep abstrak yang tidak dapat diganggu gugat dan - untung saja - pada umumnya mustahil didekati.

Monster atau malaikat?

Tokoh utama laki-laki yang otonom, bertualang, dan berjaya serta tokoh utama perempuan yang tunduk kepada aturan masyarakat, merana dengan pasrah, dan rendah hati telah mewarnai kisah-kisah Barat sejak zaman dahulu kala; Maria Tatar menyebutnya sebagai “opsi cerita standar”. Dalam novel-novel abad kesembilan belas, sosok perempuan digambarkan atau sebagai monster atau sebagai malaikat. Atau mereka penurut dan memiliki karakter yang suci tanpa cela, atau mereka sensual, berjiwa pemberontak, dan tidak terkendalikan - sifat-sifat yang sangat tidak diharapkan pada diri seorang anak perempuan atau pun istri di era Victoria.

Para tokoh utama perempuan dalam karya klasik modern (yang ditulis oleh laki-laki) seperti Anna Karenina, Effi Briest, Emma Bovary atau Hester Prynne dari The Scarlet Letter pun tunduk kepada pola pada opsi cerita standar ini. Yang juga menarik adalah siapa yang secara tradisional disalahkan atas peristiwa yang terjadi, yaitu para tokoh perempuan beserta bayangan dan keinginan mereka yang digambarkan sebagai tidak patut. Ini terlihat jelas pada sosok Effi Briest, yang menjelang kematian dininya - dalam keadaan sakit dan diusir oleh keluarga - dianggap sebagai pezina oleh masyarakat sehingga layak menanggung segala akibat yang timbul, tanpa menghiraukan bagaimana ia terjerembap ke dalam situasi itu dan bagaimana masyarakat menggunakan ukuran berbeda untuk menilai laki-laki dan perempuan, yang justru menjadi penentu nasibnya. Narasi ini berlandaskan pembedaan gender dan selalu mengulangi hak istimewa serta keutamaan gender yang satu, sambil terus menampilkan ketidakpatutan gender yang satu lagi.

Mungkinkah ada cara lain?

Sesekali ada juga pola cerita dan sosok perempuan yang berbeda, termasuk dalam karya klasik yang ditulis oleh laki-laki, tetapi jumlahnya tidak banyak. Nora, tokoh utama Henrik Ibsen dalam Rumah Boneka, misalnya, pada akhirnya meninggalkan suami dan anak-anaknya karena menyadari bahwa seumur-umur ia tidak lebih dari mainan kaum laki-laki dalam hidupnya - dan ini menjadikannya sebagai lambang emansipasi perempuan sekitar tahun 1900.

Pengarang perempuan memang sejak dahulu menentang situasi itu dan menyajikan cerita dari sisi mereka. Dengan meminjam kata-kata Rebecca Solnit, mengapa mereka harus “puas dengan satu alur cerita saja, yang akan berujung pada kehidupan yang baik, padahal tidak sedikit dari mereka yang mengikuti alur cerita tersebut justru mengalami kehidupan yang buruk”? Jane Austen dan Brontë bersaudara pun telah menyajikan gambaran berbeda mengenai hasrat perempuan dalam novel-novel mereka, yang selalu membahas batas-batas kemungkinan yang tersedia bagi kaum perempuan. Mereka juga menggugat pertentangan malaikat atau monster dalam karya sastra para penulis laki-laki. Misalnya saja, mereka mengungkapkan kemarahan terhadap dunia misoginis, yang terpaksa dihuni oleh para penulis perempuan beserta tokoh-tokoh perempuan rekaan mereka, melalui sosok “mad woman in the attic”, perempuan gila di loteng, yang selalu saja muncul - sebuah alusi kepada Bertha Mason, istri pertama Rochester dalam novel Jane Eyre karena Charlotte Brontë. Dengan demikian sastra menjadi komentar terhadap sastra sebelumnya, senantiasa menunjuk sudut pandang yang terabaikan dan berupaya melengkapinya. Termasuk jika, misalnya, Jean Rhys dalam Wide Sargasso Sea kembali mengangkat sosok Berta Mason dalam Jane Eyre dan menceritakan kehidupan “perempuan gila di loteng” dari sudut pandangnya sendiri.

Bagaimana perempuan dibuat tidak terlihat

Para penulis perempuan dalam sastra Barat selalu saja membahas bagaimana mereka, dengan satu atau lain cara, tidak berperan di dunia. Terkurung dan tersisihkan, terusir dan tertawan, itulah situasi-situasi yang lazim diangkat oleh penulis perempuan. Dari Charlotte Perkins Gilman sampai Marlen Haushofer, dari Sylvia Plath sampai Ingeborg Bachmann para penulis perempuan menyajikan tokoh perempuan yang dibuat terdiam, yang merasa asing dalam hidup mereka sendiri, atau malah hilang sama sekali. Motif itu sampai sekarang tetap divariasikan, dan sama sekali belum tinggal sejarah. Para penulis perempuan juga memastikan bahwa tokoh utama perempuan dalam berbagai mitos memperoleh suara dan sudut pandang sendiri. Kassandra karya Christa Wolf adalah narasi orang pertama sang tokoh utama pada hari kematiannya. Dalam Perempuan-Perempuan Kelu karya Pat Barker, kita dapat mendengar suara Briseis, sang tawanan yang akan diserahkan sebagai hadiah kepada Achilles. Dan dalam Penelopiade karya Margaret Atwood, Penelope dan kedua belas “pembantu”, yaitu perempuan-perempuan yang diperbudak, bercerita tentang masyarakat patriarkal yang brutal di Ithaka.

Sosok-sosok perempuan yang otonom dalam sastra sejak dahulu hingga kini senantiasa menghadapi hambatan dan selalu memicu penolakan dan kritik. Mereka terlalu janggal bagi sebuah budaya yang menceritakan kaum perempuan atau secara pasif dan dermawan sebagai teladan atau secara egois dan gila sebagai contoh buruk. Ketika pemeran utama yang direncanakan untuk pementasan perdana Nora karya Ibsen di Jerman pada tahun 1880 menolak memainkan tokoh perempuan yang meninggalkan suami dan anak-anaknya, Ibsen bersedia mengubah bagian akhir sandiwara karena khawatir pementasan tersebut akan dibatalkan. Di bagian akhir yang baru itu, Nora masih sempat melirik anak-anaknya yang sedang tidur - dan kemudian tidak lagi sanggup meninggalkan mereka. Dengan demikian ia kembali menjadi sosok perempuan yang sesuai dengan kehendak patriarkal dan stereotip yang ada. Pada masa itu, Jerman - berbeda dengan beberapa negara tetangganya - belum siap menerima sosok yang otonom dan sadar sebagaimana semula ditulis oleh Ibsen. Waktu itu belum ada ruang gerak antara malaikat dan monster, belum ada tempat bagi sudut pandang perempuan. Anggapan bahwa seorang ibu tidak boleh meninggalkan anak-anaknya itu lebih banyak merupakan kondisi struktural dibandingkan keputusan individual.

Sampai sekarang karya-karya penulis perempuan yang mengedepankan sosok perempuan otonom yang tanpa ragu-ragu memilih jalannya sendiri menjadi sasaran kecaman, terutama oleh kritikus laki-laki, yang menunjukkan secara jelas bahwa masalahnya bukan kriteria estetika semata-mata. Sebab baik dalam sastra maupun dalam kritik ada hal yang dinegosiasikan, yaitu isu siapa yang boleh dan siapa yang tidak boleh melakukan sesuatu dan apa hukuman yang pantas. Isu kebebasan mana saja yang boleh dimiliki oleh seorang perempuan. Dan mana yang tidak.

 

sumber

Simone de Beauvoir, Das andere Geschlecht, Reinbek: Rowohlt 2018 (1949)

Sandra M. Gilbert und Susan Gubar, The Madwoman in the Attic, The Woman Writer and the Nineteenth-Century Literary Imagination, New Haven und London: Yale University Press 1984, Seite 89–92

Nicole Seifert, Frauen Literatur. Abgewertet, Vergessen, Wiederentdeckt, Köln: Kiepenheuer und Witsch

Rebecca Solnit, Die Mutter aller Fragen, München: btb 2019

Maria Tatar, The Heroine with 1.001 Faces, London: W. W. Norton & Company 2021

Jia Tolentino, Trick Mirror, Über das inszenierte Ich, Frankfurt am Main: S. Fischer 2019

Deutsche Literaturgeschichte, Von den Anfängen bis zur Gegenwart, herausgegeben  von W. Beutin, M. Beilein, K. Ehlert, W. Emmerich und anderen, Stuttgart: Metzler 2019, Seite 352 und folgende





 

Top