Claim Goethe Institut Claim Goethe Institut

Indonesia

Film - 2023
 Arthouse Cinema

New Arthouse Cinema © Goethe-Institut Indonesia / Each Other Company

Melalui program Arthouse Cinema 2023 kami ingin mengajak Anda mengikuti petualangan sinematik yang mengasyikkan. Dengan mengusung tema horor, teror, drama, dan ketegangan kami ingin menyelami hakikat kemanusiaan yang serba kompleks.

Acara

20.05.2023
 Das Alphabet der Angst (2015) dan Hannah Arendt (2012)
 GoetheHaus, Jakarta | Pemutaran Film

10.06.2023
 M - A City Searches for a Murderer (1931) dan Wild (2016)
 GoetheHaus, Jakarta | Pemutaran Film

01.07.2023
 Systemsprenger (2019) dan Aus dem nichts (2017)
 GoetheHaus, Jakarta | Pemutaran Film

12.08.2023
 Casting (2017) dan Exil (2020)
 GoetheHaus, Jakarta | Pemutaran Film

Tentang proyek Arthouse Cinema © Kurhaus Productions

Tentang proyek

Sambutlah kisah-kisah yang tidak terlupakan, tokoh-tokoh yang menonjol, dan sinematografi yang tanpa tandingan.

Ulasan Film dari edisi sebelumnya

Sepuluh penulis muda dengan berbagai latar belakang – jurnalis, peneliti, blogger, serta aktivis film – dari berbagai kota di Indonesia diundang untuk menelaah masing-masing satu film dalam Arthouse Cinema 2021.

Di Hadapan Sinema Metacitra © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Harun Farocki
 Di Hadapan Sinema Metacitra

Farocki mengkombinasikan dialog tokoh, bidikan kamera, gaya penceritaan fiksi, dan latar berlapis untuk membongkar intisari dari apa yang mengkonstruksi sebuah film: citra.

Oleh: Manshur Zikri
Margarethe von Trotta: Perempuan dalam Sinema © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Margarethe von Trotta
 Margarethe von Trotta: Perempuan dalam Sinema

“Feminisme bukanlah penemuan Barat.” Itulah pernyataan dari mendiang Nawal El Saadawi ketika diwawancara Channel 4 News. El Saadawi kemudian menambahkan bahwa perjuangan perempuan itu tersebar di belahan dunia mana pun, dari beragam latar tradisi dan agama.

Oleh: Umi Lestari
Strongman Ferdinand: Habis Gelap, Terbitlah Teror © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Alexander Kluge
 Strongman Ferdinand: Habis Gelap, Terbitlah Teror

Film-filmnya tidak hanya mencoba membuka tabir masa lalu, tetapi meletakkan masa kini sebagai bagian dari dimensi sejarah. Implikasinya, Kluge tidak benar-benar secara terus terang membicarakan soal rezim Nazi, peristiwa Holocaust, atau dampak Perang Dingin itu sendiri di filmnya, misalnya, tetapi memperlihatkan bagaimana serpihan-serpihan peristiwa itu masih mempengaruhi kehidupan karakter-karakternya di masa kini.

Oleh: Permata Adinda 
Menghasrati Kebenaran: Meninggalkan Yang Realis dan Representatif © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Werner Herzog
 Menghasrati Kebenaran: Meninggalkan Yang Realis dan Representatif

Bagi Herzog, gambar-gambar berbasis kenyataan sehari-hari yang dihadirkan begitu saja, atau katakanlah gambar yang murni (innocent), hanya menghadirkan kebenaran superfisial.

Oleh: Bunga Siagian 
Lanskap yang Terdesain: "Berjibaku dengan Alam, Membikin Sinting!" © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Werner Herzog
 Lanskap yang Terdesain: "Berjibaku dengan Alam, Membikin Sinting!"

Lanskap tersebut ditata dari aksi-aksi performatif subjek-subjeknya terhadap ruang, dan performativitas ruang terhadap subjek-subjeknya. Ruang yang dipengaruhi dan ruang yang memengaruhi.

Oleh: ​Taufiqurrahman Kifu
“Yesterday Girl”: Mengungkap Kemarin lewat Hari Ini © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Alexander Kluge
 “Yesterday Girl”: Mengungkap Kemarin lewat Hari Ini

Konsep “masa lalu” sendiri sudah mengandung beban moral bagi masyarakat Jerman pasca-Perang Dunia, sejak kekalahan mereka di Perang Dunia I hingga genosida yang dilancarkan pasukan Nazi ke sejumlah wilayah di Eropa.

Oleh: ​Dini Adanurani
How to Live in the FRG: Kecemasan dan Keterasingan © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Harun Farocki
 How to Live in the FRG: Kecemasan dan Keterasingan

Manusia hidup dari pengandaian-pengandaian, demonstrasi, juga instruksi dari teks user manual yang telah berubah menjadi buku petunjuk kehidupan ‘life manual’, yang artinya: mekanisasi.

Oleh: Dhanurendra Pandji
Angst essen Seele auf: Ruang Politis © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Rainer Werner Fassbinder
 Angst essen Seele auf: Ruang Politis

Bagi Fassbinder, pertemuan dua tokoh beda latar belakang dalam close-up adalah awalan film yang sederhana dan menakjubkan, karena penonton dapat melihat inti dari apa yang akan dibicarakan di film tersebut hanya  beberapa menit film baru berjalan.

Oleh: Afrian Purnama 
Katzelmacher : Melacak Pilihan Estetika dan Keberpihakan Politik Fassbinder © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Rainer Werner Fassbinder
 Katzelmacher: Melacak Pilihan Estetika dan Keberpihakan Politik Fassbinder

Katzelmacher adalah film panjang kedua Rainer Werner Fassbinder yang dirilis pada 1969. Masih dengan nuansa hitam putih seperti film pertamanya, Liebe ist kälter als der Tod (Love is Colder than Death), yang juga dirilis di tahun yang sama, Katzelmacher dibuka dengan potongan adegan perkenalan tokoh-tokoh film yang hidup dengan kekhawatiran dan rasa curiga terhadap satu sama lain.

Oleh: ​Ayu Diah Cempaka
The American Friend: Indigenisasi Novel dan Pembebasan dari Dominasi © Goethe-Institut Indonesien

Arthouse Cinema - Wim Wenders
 The American Friend: Indigenisasi Novel dan Pembebasan dari Dominasi

Salah satu tokoh New German Cinema yang mengadaptasi karya Highsmith ialah Wim Wenders. Wenders mengadaptasi Ripley’s Game menjadi film dengan judul Der Amerikanische Freund (The American Friend). Adaptasi ini diproduksi pada pasca PD II, tepatnya pada 1976-1977 ketika Amerika sedang mendominasi Eropa termasuk dalam dunia perfilman.

Oleh: Adi Osman 
“Lotte“ (2016) disutradarai oleh Julius Schultheiß Foto (cuplikan film) © Finderlohnfilm

Berliner Schule
 Berliner Schule: Ruang Kota dan Kronopolitik Sinema

Ruang tidak pernah netral. Kekuasaan selalu membutuhkan ruang untuk mematerialisasi otoritasnya dalam proses pendominasian.

Oleh: Aryo Danusiri
Dealer (1999) disutradarai oleh Thomas Arslan Foto (cuplikan film) © Peripher Filmverleih

Berliner Schule
 Film-Film Penuh Kejutan dan Bahaya

Pada pertengahan tahun sembilan puluhan, para pembuat film Berliner Schule (Aliran Berlin) menciptakan gambaran masyarakat Jerman yang sama sekali baru. Sampai sekarang film-film mereka masih bercerita banyak tentang negeri mereka.

Narahubung

Dinyah Latuconsina
Koordinator Program Budaya
Dinyah.Latuconsina@goethe.de

Top