Berliner Schule
Berliner Schule: Ruang Kota dan Kronopolitik Sinema

“Lotte“ (2016) disutradarai oleh Julius Schultheiß
“Lotte“ (2016) disutradarai oleh Julius Schultheiß | Foto (cuplikan film) © Finderlohnfilm

Ruang tidak pernah netral. Kekuasaan selalu membutuhkan ruang untuk mematerialisasi otoritasnya dalam proses pendominasian. Tanpa ruang, kuasa selamanya hanya akan menjadi potensi belaka. Kronopolitik atau politik waktu adalah salah satu metode dari kekuasaan modern untuk merepresentasi apakah sebuah ruang itu urban-modern dan bukan rural-tradisional. Sebagai contoh, ada peraturan yang menyatakan bahwa bantaran kali haruslah bersih dari hunian agar sebuah kota dapat dikategorikan maju dan beradab.
 

Logika Pemisahan Asimetris Khas Budaya Modern

Kronopolitik tidak dapat dipisahkan dari modernisasi karena tanpa representasi tentang apakah kemajuan itu dan bagaimana kemajuan dicapai, mesin modernisasi tidaklah dapat bekerja. Pemisahan antara tradisional dan modern dan menghubungkannya secara asimetris adalah bentuk “a rupture, a revolution in time” (Latour, 1993) dari budaya modern. Kota adalah ruang konkret bagaimana ide kronopolitik modernisasi dikonstruksi. Apa itu smart city dalam oposisinya dengan ‘kota tertinggal‘? Apa yang-dapat-hidup dan apa yang-harus-disingkirkan (diabaikan) menurut politik kemajuan?

Sinema adalah ruang operasional bagi logika modern. Kronopolitik bekerja menentukan apa yang disebut ‘drama’dan ‘bukan drama.’ Ketika sepasang kekasih yang masih SMU menghadapi kenyataan hamil tanpa rencana, maka masa depan memiliki makna berbeda bagi si pria yang tipikal ‘anak kampung‘ dan si perempuan yang tipikal ‘anak komplek.‘ Kisah dramatik dapat dibentuk karena kronopolitik asimetris antara ‘kampung‘ yang statis dan tradisional dengan ‘komplek‘ yang fluid, global, dan modern. Film harus dapat mempertunjukkan politik ruang tipikal dalam estetika ruang antara ‘jalan mobil‘ dan ‘gang sempit‘. Maka agar logika modern dapat terpelihara, kisah diakhiri dengan ‘anak komplek‘ pergi ke ruang global demi kemajuan pengetahuan sedangkan ‘anak kampung‘ menetap di tempat asal dan menjadi masa lalu. Dongeng modern ini menjadi mengharukan dan diulang-ulang tepat karena relevan dalam logika pemisahan asimetris budaya modern.

Melawan Kronopolitik Modern Melalui Sinema 

Berliner Schule (Berlin School) adalah perlawanan terhadap kronopolitik modern. Didefinisikan sebagai gerakan sinema setelah runtuhnya Tembok Berlin, sineas Berlin School menolak untuk meletakkan hancurnya Tembok sebagai momen rupture menuju Jerman yang baru. Mereka justru mempertanyakan apakah Jerman itu dan bagaimana masa depannya? (seminar di Deutsches Haus, NYC pada 2016). Mereka menolak untuk membuat genre films termasuk historical/periodic films. Perlawanan kronopolitik ini, tentu saja, tidak hanya ekslusif dilakukan oleh Berlin School namun menjadi kecenderungan dari sinema transnasional (Fisher & Abel, 2018). Afinitas Berlin School dengan sineas macam Apichatpong Weerasetakhul (Thailand), Tsai Ming-Liang (Taiwan) atau Steve McQueen (UK) bisa terlihat dalam visi kritis mereka dalam mendisrupsi proses perwujudan secara spatial logika pemisahan-asimetris.

Dalam film Schlafkrankheit (Sleeping Sickness) (2011, Ulrich Köhler) dan Toni Erdmann (2016, Maren Ade) misalnya, makna ruang dunia ketiga sebagai ruang yang pasif dan layak untuk dikolonisasi oleh orang Eropa dengan proyek ‘ekonomi global‘ dan development distabilisasi menjadi ruang yang aktif dan membuat “Sang Eropa” sebagai manusia dunia-pertama justru menjadi tidak nyaman dan mempertanyakan kembali eksistensinya dalam putaran ekonomi pusat-pinggiran. Dalam Toni Erdmann, sang ayah mengganggu si anak perempuannya; apakah dia harus menjadi manusia tipikal modern-profesional di dalam ruang transnational seperti Bucharest (Rumania)? Apakah ada kemungkinan nilai lain dalam merepresentasikan ruang transnasional selain sebagai hanya ruang workaholic para precariate global? Atau In My Room (Ulrich Köhler, 2018) yang mengajak kita mengalami apa yang bisa terjadi jika dunia menjadi ruang semi-kiamat dan hanya kita sendiri yang masih hidup? Apa yang mungkin bisa kita lakukan? Dan ketika ternyata sang tokoh utama bertemu dengan orang lain, apakah kita masih harus memelihara nilai kemanusiaan yang sama atau menghasilkan nilai-nilai sama sekali baru?
“Schwimmen“ (2019) disutradarai oleh Luzie Loose
“Schwimmen“ (2019) disutradarai oleh Luzie Loose | Foto (cuplikan film) © Kurhaus Production Film & Medien GmbH
Ruang yang provokatif itu tidak harus selalu yang “asing” secara nasionalistik, namun juga bisa ruang-ruang akrab dalam kehidupan sehari-hari. Dalam film Schwimmen (Luzie Loose, 2018), film dibuka dengan Elisa (15 tahun) sendiri di rumahnya di suburban Berlin yang sudah kosong. Setelah perceraian orang tuanya, dia dan ibunya harus pindah dari sebuah rumah tapak milik keluarga di kawasan suburban ke rumah susun sederhana yang ada di pusat kota. Proses coming of age adalah proses produksi ruang dan diri; hubungan di antara keduanya senantiasa dalam dialektika produksi. Film ini menolak kronopolitik dikotomis suburban versus sentral, serta kenyamanan versus kepadatan. Ia justru menarasikan secara sinematik bagaimana kenyamanan diproduksi secara sosial.

Dalam proses dialektik keruangan yang dialami oleh Elisa, ruang air (kolam renang, danau) menjadi mediator yang aktif mengantar Elisa mengkonstruksi ruang barunya. Di ruang mediator inilah kita lihat proses Elisa memproduksi diri lewat hubungan-hubungan sosial yang ia produksi bersama aktor-aktor manusia yang baru dikenalnya dan aktor-aktor non-manusia (gawai, kamera) yang juga baru digunakannya. Apakah Elisa kota harus berbeda dengan Elisa suburban? Siapa atau dengan siapa Elisa harus menjawab pertanyaan tersebut? Proses pertanyaan menjadi diri dalam ruang inilah yang menavigasi kisah Elisa melewati masa remajanya dalam film ini.  

Bila dalam Schwimmen, ruang Elisa ditentukan oleh orang tuanya, maka dalam Lotte (Julius Schultheiß, 2016), kita bertemu dengan Lotte yang menolak menjadi figur tipikal. Sebagai nomad, Lotte bukanlah diri tanpa ruang, namun ia adalah diri yang selalu memproduksi ruang untuk dirinya sendiri. Lotte dengan perangainya yang menolak untuk didisiplinkan senantiasa harus memproduksi ruang domestiknya di dalam ruang-ruang yang secara tipikal bukanlah ruang domestik. Ketika menolak didisiplinkan oleh pacarnya, Lotte kemudian berkesempatan untuk mengubah sebuah bengkel sepeda menjadi ruang kamar tidurnya. Publik-domestik dalam film ini menjadi entitas-entitas keruangan yang bersifat sementara (ephemeral) dan cair, bukan dikotomi yang kaku karena Lotte sendiri menolak definisi “ibu” dan “perempuan” menurut logika gender yang dominan.

Dengan long-take shots, sebagai salah satu ciri khas dari Berlin School, kronopolitik dalam film ini bukanlah politik waktu untuk memproduksi tipikal-tipikal sosial namun politik waktu untuk memahami manusia adalah emergent forms atau vital signs (Mitchell, 2005) yang belum selesai dan selalu gelisah dalam proses.
 

penulis

Aryo Danusiri adalah asisten profesor antropologi di Universitas Indonesia. Selain sebagai salah satu anggota Sensory Ethnography Lab, Danusiri juga telah meraih Ph.D. di bidang Antropologi Sosial dengan pendalaman di Praktik Kritis Media di Universitas Harvard, Amerika Serikat.

Top