Social Entrepreneurship
Wirausaha Sosial Sebagai Solusi Lengkap Permasalahan Nasional

Social Entrepreneurship
© Pixabay

"Menghasilkan uang tidaklah menyenangkan. Berkontribusi untuk melakukan perubahan di dunia jauh lebih menyenangkan," ujar seorang bankir Bangladesh, yang dikenal dengan kedermawanannya, Muhammad Yunus. Kalimat tersebut digunakannya untuk menggambarkan wirausaha sosial.
 

Fenomena wirausaha sosial mungkin masih terdengar baru di beberapa kalangan masyarakat, khususnya di Indonesia. Istilah ini mulai berkembang, seiring dengan semakin pentingnya isu-isu sosial di dunia seperti, kemiskinan, kesehatan, pendidikan, kesetaraan, bahkan lingkungan hidup. Secara garis besar, istilah ini dapat dipahami sebagai aktivitas mengenal masalah sosial dan menjadikan prinsip-prinsip wirausaha untuk mengorganisasi, menciptakan dan melakukan suatu usaha, untuk mencapai perubahan masyarakat yang diharapkan.

Jadi, dapat diartikan juga bahwa wirausaha sosial adalah mereka yang tidak hanya terfokus terhadap keuntungan yang didapatkan oleh bisnisnya, melainkan juga untuk mencoba menyelesaikan beberapa isu sosial, melalui proses wirausaha yang dilakukan. Dengan demikian, praktik ini menjadi erat kaitannya dengan kerelawanan dan sektor non-profit.

Meski terdengar baru, praktik wirausaha sosial dalam sejarah sudah terjadi sejak ratusan tahun silam. Hal ini ditandai dengan praktik bisnis yang pada saat bersamaan mengedepankan pemberdayaan masyarakat. Seperti yang dilakukan oleh Robert Owen, seorang pengusaha kapas pada abad ke-18. Pria asal Wales itu dikenal dengan bapak gerakan koperasi (the father of cooperative movement), karena kepentingannya yang tidak hanya berfokus pada profit, tapi juga memberdayakan karyawannya. Dia ingin seluruh pegawainya bekerja di ruang lingkup yang baik dengan memberikan akses kesehatan dan pendidikan secara merata.

Namun demikian gagasan wirausaha sosial baru dinilai menjadi penting, pasca terjadinya krisis ekonomi global yang terjadi pada tahun 2008. Krisis yang semula hanya berdampak terhadap sektor perekonomian, kemudian memunculkan efek domino terhadap sektor lainnya. Dengan terjadinya perlambatan pertumbuhan ekonomi akibat krisis, masyarakat global––tidak terkecuali Indonesia––khawatir akan memunculkan permasalahan sosial, seperti meningkatnya angka kemiskinan dan juga pengangguran.

Oleh karena itu melalui gagasan wirausaha sosial yang memilki pendekatan mementingkan isu sosial sekaligus profit, diharapkan mampu meminimalisir efek negatif dari krisis moneter 2008. Pasalnya praktik wirausaha sosial dinilai memiliki kelebihan untuk membuat strategi atau inovasi, yang mampu memecahkan masalah sosial. Sehingga manfaatnya kemudian bisa dirasakan langsung oleh masyarakat luas.

Munculnya Wirausaha Sosial di Indonesia

Sementara itu praktik wirausaha sosial sebenarnya sudah lama berjalan di Indonesia ditandai dengan kemunculan Bambang Ismawan. Pria kelahiran 1938 itu sudah jauh lebih dulu menanamkan konsep kewirausahaan sosial melalui Yayasan Sosial Tani Membangun yang saat ini telah berganti nama menjadi Yayasan Bina Swadaya. Yayasan yang dibentuk pada 1967 itu melakukan pemberdayaan masyarakat miskin melalui kegiatan micro finance (keuangan mikro) dan micro enterprise (usaha mikro) dengan mengutamakan pendidikan anggota, memupuk kemampuan diri dan sosial.

Seiring berjalannya waktu praktik-praktik wirausaha sosial mulai bermunculan di Indonesia. Hal ini ditandai dengan munculnya beberapa yayasan yang bertujuan memberdayakan masyarakat seperti Dompet Dhuafa, Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan (IBEKA), Rumah Perubahan, atau lembaga lainnya. Lembaga-lembaga tersebut memiliki satu kesamaan yaitu memiliki fokus untuk memberdayakan masyarakat lokal dengan potensi yang ada, dengan meminimalisir profit yang akan didapat.

Modern ini praktik kewirausahaan sosial semakin marak digunakan di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Munculnya tren ini tidak lain dikarenakan oleh kehadiran bankir asal Bangladesh Muhammad Yunus, yang dikenal dengan panggilan 'Bapak Kewirausahaan Sosial'. Pria pemenang penghargaan nobel perdamaiaan itu terkenal akan kepiawaiannya dalam mengelola bank kredit mikro, Grameen Bank. Bank ini didesain oleh Yunus untuk memberdayakan masyarakat miskin dengan memberikan pinjaman untuk modal usaha. Konsep ini kemudian dinilai mampu mengurangi salah satu permasalahan sosial di Bangladesh yaitu kesenjangan sosial. Namun pada saat yang bersamaan dia mampu menghasilkan profit.

Keberhasilan Yunus tersebut menandai adanya pergeseran orientasi yang semula lebih fokus terhadap kegiatan pemberdayaan masyarakat menjadi lebih menyeimbangkan antara pendapatan keuntungan dan misi sosial. Hal tersebut kemudian memunculkan tingginya animo dari para pelaku usaha untuk melakukan hal serupa. Praktik ini dianggap memiliki daya tarik yang besar bagi dunia bisnis untuk turut serta dalam kegiatan sosial karena pada saat bersamaan ternyata mampu menghasilkan keuntungan finansial. Sehingga dengan semakin banyaknya permasalahan sosial yang terjadi di lingkup masyarakat, praktik ini bisa dikatakan sebagai paket lengkap bagi para pelaku usaha untuk meraup keuntungan sekaligus membantu pemerintah.

Munculnya organisasi-organisasi seperti Asosiasi Kewirausahaan Sosial Indonesia (AKSI) dan Indonesia Setara, menjadi bukti nyata bahwa penggiat wirausaha sosial semakin marak keberadaannya di Indonesia. Kedua organisasi tersebut memiliki tujuan yang serupa, yaitu untuk menjadi wadah seluruh pelaku usaha yang ingin membantu menyelesaikan isu-isu sosial di Indonesia.

Dukungan yang Berasal Dari Dalam dan Luar Negeri

Pemerintah mulai fokus untuk mengembangkan praktik ini dalam beberapa tahun ke belakang. Hal ini dibuktikan dengan dimasukannya pembahasan mengenai kewirausahaan sosial dalam Rancangan Undang-Undang Kewirausahaan Nasional. Dalam rancangan tersebut tertulis bahwa praktik wirausaha sosial diproyeksikan mampu menyelesaikan beberapa isu sosial sekaligus mendapatkan profit untuk ​mendukung misi tersebut. Melalui peraturan ini pemerintah berharap dapat memberikan payung hukum yang mampu mendorong tumbuhnya praktik wirausaha sosial.
Social Entrepreneurship
© Pixabay

Dukungan untuk wirausaha sosial di Indonesia tidak hanya mendapatkan dukungan dari dalam negeri, tapi juga luar negeri. Hal ini dapat dilihat dengan mulai munculnya partisipasi yang dilakukan perusahaan asing untuk membantu mendorong bisnis berbasis wirausaha sosial dengan melakukan investasi. Hasil studi menunjukan terdapat sekitar 30 perusahaan asing yang berminat untuk melakukan investasi dalam bisnis dengan praktik wirausaha sosial. Tercatat pada 2016 nilai investasi asing di bisnis ini sebesar 300 juta dolar Amerika Serikat (AS).

Dengan adanya wadah, payung hukum, dan dukungan yang jelas dari berbagai pihak praktik wirausaha sosial diproyeksikan akan terus bertambah keberadaannya di Indonesia. Pasalnya para pelaku usaha tidak hanya akan menghasilkan keuntungan materiil semata, namun juga mendapatkan kepuasan jasmani dari peranannya yang turut serta menyelesaikan isu-isu sosial.

Top