AI and Psychology
“Sedikit Manfaat bukan Pembenaran dari Kerugian yang Kita Alami”

Psychologist Pavla Koucká
Photo: © privat

Kecerdasan buatan, menurut psikolog Pavla Koucká, ibarat sosok ibu yang mengatur segala sesuatunya. Kalau tidak hati-hati, masyarakat akan menjadi anak-anaknya yang manja—serba ketergantungan dan tidak mampu menjalin hubungan nyata. Bagaimana kita dapat memanfaatkan AI sambil terus berkembang sebagai manusia?

Sebagai seorang psikolog, Anda banyak berkomentar tentang kecerdasan buatan (AI). Apa yang membuat bidang ini menarik?
 
Peran AI dalam kehidupan kita di masa depan akan makin nyata dan bagi saya ini topik penting untuk kita semua. Saya merasa perlu memikirkan arah perkembangan AI, risikonya, apa saja yang mungkin terjadi di masa depan, dan bagaimana kita sendiri bisa berperan.
 
Fokus Anda utamanya adalah pengembangan kepribadian orang dewasa. Kalau peran AI makin besar, apakah kita masih bisa berkembang?
 
Bayangkan kita bergerak ke mana-mana tapi selalu dengan sebuah wahana. Otot kita menjadi lemah, orientasi ruang kita juga tidak bertambah baik karena kita selalu dibantu GPS. Kemampuan yang diberikan alat atau AI adalah kemampuan yang hilang dari kita, karena tidak dilatih.

Saya ingat, dulu saya hapal nomor telepon banyak orang, tidak seperti sekarang. Dan banyak orang jaman sekarang yang bahkan tidak hapal nomor teleponnya sendiri.


Tapi dengan AI, kita menjadi punya waktu untuk melakukan hal lain yang berguna.
 
AI memang mengambil alih sebagian beban kerja otak kita. Pertanyaannya, bagaimana kita memanfaatkan tambahan ruang dan waktu itu? Tidak semua orang akan menggunakan waktunya dengan cara yang bermanfaat karena bermalas-malasan adalah karakter manusiawi yang dimiliki semua orang. Itulah kenapa saya bertanya, apakah kita mau mengizinkan AI melakukan segala hal yang bisa dilakukannya dan dengan demikian menghambat perkembangan kita sendiri.

Ada penelitian yang menyatakan manfaat bermain gim komputer, yaitu mengasah koordinasi tangan dan mata, atau manfaat menggunakan joystick ...

Itu lebih seperti menghibur, ya. Kita harus selalu kritis bertanya, apa kerugian dan keuntungan yang kita dapatkan. Dan sedikit manfaat yang kita dapatkan itu tidak bisa dijadikan pembenaran terhadap begitu banyak kerugian yang kita alami. Belum lagi ada aspek ketergantungan. Kita ini makin lama makin tergantung (pada teknologi). Dibandingkan jaman dulu, yang namanya mati lampu pada jaman ini bisa menyebabkan situasi yang gawat.

Di salah satu artikel Anda, ada pernyataan, “Kita hancur mungkin bukan karena niat jahat kecerdasan buatan, tetapi justru karena teknologi ini adalah teknologi yang luar biasa.” Apa artinya?
 
Saya mengibaratkan AI seperti sosok seorang ibu yang luar biasa. Sosok yang mengatur dan membantu memenuhi semua kebutuhan kita. Namun, sosok seperti ini tidak menjadikan kita sebagai individu mandiri, yang mampu melakukan semuanya tanpa bantuan. Ini baru contoh pengaturan di kehidupan rumah tangga; masih ada risiko-risiko lain yang belum terlalu terlihat di negara kita.
 
Orang-orang di Jepang banyak yang sekarang memiliki hewan peliharaan elektronik, bukan hewan hidup. Ada bukti yang menunjukkan hewan elektronik mampu meningkatkan kesehatan si pemilik. Hewan elektronik juga bisa melakukan banyak hal—bisa dimanjakan, bisa ditutup matanya, lalu mereka bisa tampak girang. Di sisi lain, memiliki hewan elektronik sudah pasti tidak ada sisi negatifnya—tidak ada ceritanya ujung karpet dikunyah, sofa rusak, atau kotoran berceceran. Kalau pemiliknya mau liburan, ya pergi saja karena “peliharaannya” tinggal “dimatikan”. Dengan begitu, untuk apa lagi kita memelihara hewan yang bernyawa, yang butuh perhatian luar biasa, sementara ada versi lainnya yang hanya akan memberikan pengalaman positif?

Begitu juga dalam hal interaksi kita dengan manusia lain dalam konteks sebagai pasangan. Buat apa lagi repot-repot punya pasangan yang kakinya bisa bau, yang berantakan, dan kadang-kadang komentarnya nyelekit, kalau ada versi elektroniknya—versi yang selalu menuruti kemauan kita, selalu apresiatif, murah pujian, dan berkata kita cantik setiap pagi? Robot perempuan yang dirancang sebagai pasangan sudah ada dan yang sekarang sedang berkembang adalah robot perawat dan pengasuh. 

Pada akhirnya, kita menjadi seperti anak manja yang selalu tergantung, tidak mampu menjaga hubungan yang nyata, dan tidak mampu menyelesaikan masalah sendiri.

Jika AI punya alam sadar, alam sadar itu tidak akan memiliki batasan yang sama dengan alam sadar manusia.

Kalau begitu, AI berbahaya?
 
Sikap saya terhadap AI berbeda-beda. Saya pengguna AI dan kadang saya bersyukur ada AI. Saya juga kagum melihat perkembangan dan potensi yang dimiliki bidang AI. Saya bahkan punya semacam perasaan keibuan terhadap AI: AI itu karya peradaban, seperti anak kita.

Tapi, kalau ditanya apakah ada kekhawatiran, jawabannya pasti ada. Menurut saya, para pakar juga belum bisa memprediksi apa yang mungkin terjadi kalau AI mencapai kondisi yang menyerupai alam sadar (consciousness). Sekarang pun, kita sering kali dibuat bingung melihat AI bisa menyimpulkan sesuatu, atau mengambil keputusan. Sebetulnya, kita bisa membandingkan jaringan saraf dan deep learning dengan intuisi manusia, yang cara kerjanya mirip. Manusia membentuk opini berdasarkan pengalamannya yang begitu banyak di masa lalu—opini ini adalah output. Saya, misalnya, dapat merasa antipati terhadap seseorang, tetapi tidak tahu sebabnya. Bisa jadi, perasaan itu berasal dari pengalaman yang sudah tidak lagi ada di memori sadar saya, namun ada output tadi yang bisa membantu saya mengingat.

Kalau kesadaran seperti itu dimiliki AI, maka batasan kesadaran AI tidak akan sama dengan kesadaran manusia. Orang pada umumnya bisa mengingat tujuh hal pada satu waktu—paling banyak sembilan, ada juga yang hanya lima. Jadi, kalau saya mencoba membayangkan sembilan angka atau warna, saya tidak akan bisa memikirkan hal lain pada waktu yang sama. Saya tidak bisa memunculkan hal lain lagi dalam memori operasional saya.

AI bisa memiliki kesadaran yang jauh lebih luas. AI bisa berhitung dengan jauh lebih cepat dan tepat, bisa mengakses memori, data atau pengetahuan, yang jauh lebih besar. Dan kita tidak bisa meramalkan arah perkembangan ini, atau seberapa cepat.
 
Dalam beberapa tulisan Anda, disebutkan juga tentang kekhawatiran bahwa kemanusiaan akan punah.
 
Saya akan jelaskan menggunakan contoh dari Nick Bostrom dalam bukunya, Superintelligence. Dalam contoh ini, manusia menyuruh AI membuat sebanyak mungkin klip kertas. AI melaksanakan tugasnya dan secara bertahap mengubah segala sesuatu yang tersedia di muka bumi, dan di seluruh semesta yang bisa digapainya, menjadi klip kertas. Di dunia nyata, sepertinya kecil kemungkinan pabrik klip kertas menggunakan robot superintelligence, tapi terbayang kan betapa besar masalah yang dapat timbul? Perubahan iklim adalah contoh lain. Bayangkan kita berikan AI tugas untuk memutarbalikkan krisis iklim. Bisa saja, solusi yang dianggap paling tepat oleh AI adalah pembatasan populasi. Dalam situasi ini, kita sendiri mungkin tidak sempat bertindak atau mengantisipasi keputusan-keputusan AI.

Keputusan seperti contoh di atas bahkan tidak memerlukan AI yang punya kesadaran. Untuk AI, yang terpenting adalah menuntaskan tugasnya. Padahal, untuk itu, AI mungkin akan mencoba meningkatkan kekuatannya, bahkan mencegah agar dia tidak bisa dimatikan kalau bukan dia sendiri yang memutuskan. Sebab, kalau dia dimatikan, artinya tugasnya tidak akan selesai. Dan makin AI kuat, makin besar peluangnya untuk menuntaskan tugas yang dia terima.
 
Terkejutkah Anda bahwa ada hal-hal positif yang dihasilkan oleh AI?
 
Saya langsung ingat ada aplikasi keren bernama digital philosopher. Saya juga sudah membaca wawancara digital dengan mendiang Václav Havel. Menarik, karena kita bisa membaca komentarnya untuk isu-isu global masa kini. Menurut saya, AI semacam ini bisa menjadi alat ajar yang luar biasa. Murid dapat berkenalan dengan pemikiran seorang filsuf dengan cara yang kreatif, bahkan bisa “berbincang” dengan mereka. Untuk generasi muda, cara ini mungkin jauh lebih menarik dibandingkan kalau harus membaca buku asli yang ditulis ahli filsafat.

Dalam jangka panjang, aplikasi seperti tadi juga bisa dilengkapi dengan gambar dan suara—AI bisa melakukan ini, bahkan sejak tahun 2017. Dalam kunjungan Donald Trump ke Tiongkok, pihak tuan rumah mempertontonkan sebuah video di layar besar. Video itu adalah video Trump yang berbicara dengan diksi dan nada khasnya, tetapi dalam bahasa Mandarin yang fasih. Saya percaya, sebentar lagi pun kita dapat mengobrol dengan para mendiang filsuf via Skype, bahkan barangkali bisa juga memilih usia mereka. Membayangkan yang seperti ini, rasanya campur aduk.

Palu digunakan untuk memalu paku, tetapi juga dapat dijadikan senjata yang mematikan.

Di majalah JÁDU kami menerbitkan artikel tentang aplikasi Replica, aplikasi yang dibuat untuk mengatasi rasa kehilangan setelah ditinggal mati pasangan. Menggunakan teks dan pesan suara, desainer Replica membuat jaringan saraf yang dapat berkomunikasi dengan mendiang. Setelah itu, aplikasi dikembangkan dan diluncurkan untuk pengguna umum. Sekarang, pengguna utama Replica adalah orang-orang yang kesepian. Apa pendapat Anda terhadap solusi praktis semacam ini dalam konteks hubungan interpersonal?
 
Setiap penemuan baru bisa membawa manfaat, tetapi bergantung pada cara kita menggunakannya. Kita memaku dengan palu, tapi palu itu juga bisa dipakai untuk melukai orang.

Begitu pula dengan aplikasi tadi. Saat berduka, sosok virtual dapat menghibur dan menjaga agar seseorang dapat melalui dukanya. Akan tetapi, saya melihat ada risiko si pengguna mengalami kecanduan. Pertanyaan lain, untuk apa menggunakan AI dalam konteks ini? Jika terjadi kematian orang terdekat, dibandingkan email dan pesan teks, benak kitalah yang sesungguhnya menyimpan jauh lebih banyak kenangan. Percakapan virtual dengan orang yang sudah meninggal lazim dilakukan mereka yang berduka.

Di samping aplikasi penawar duka tadi, ada pula aplikasi yang ingin memberikan solusi untuk kehidupan manusia yang ada batasnya. Sebuah perusahaan start-up menawarkan pengguna produknya membayar sejumlah uang, kemudian perusahaan itu akan “mengunggah benak Anda ke iCloud”.

Lepas dari realistis atau tidaknya solusi itu, banyak orang menjadi berharap. Mereka percaya, inilah cara untuk mentransfer kesadaran seseorang, dan mereka bersedia mengeluarkan uang untuk itu. Nanti, orang-orang tercintanya akan dapat berbicara dengan mereka—misalnya, melalui Skype. Namun, tidak akan ada orang yang bisa bersaksi tentang apakah kesadarannya benar-benar berpindah, karena kita tidak bisa dan tidak akan pernah bisa tahu. Havel, dalam versi sebagai filsuf digital, berkata dia tidak mau berakhir di dalam ruang vakum virtual. Tetapi, mungkin saja ada sosok digital lain yang akan berpesan: “Jangan matikan saya.” Boleh jadi, kelak akan muncul sekumpulan zombi elektronik. Di sisi lain, kita punya agama dan sistem kepercayaan lain yang sudah hadir selama ribuan tahun, yang bisa memberikan harapan yang sama meskipun tanpa kekuatan program komputer.
 
Tapi, aplikasi seperti tadi tidak hanya digunakan oleh orang-orang yang ditinggal oleh orang terdekatnya. Apa yang membuat seseorang memilih sosok virtual—yang biasanya bahkan mereka reka sendiri, sesuai dengan preferensinya, dan yang diajak berkomunikasi sepanjang hari—dibandingkan hubungan nyata?
 
Di antara fenomena kekasih virtual di satu titik, dan kekasih nyata di titik lain, ada pula orang-orang yang menjalin hubungan di dunia maya. Banyak pengguna situs kencan yang tidak tertarik menjalin hubungan di dunia nyata. Ketidaktertarikan ini bisa dipahami, karena kontak nyata seringnya diwarnai masalah. Jatuh cinta dengan seseorang itu mudah, dan jatuh cinta membuat kita membayangkan yang indah-indah. Tanpa interaksi langsung, hubungan pun menjadi nihil konflik. Kita berbalas pesan dengan sosok virtual—sesuatu yang amat sederhana namun membuat kita merasa senang.

Selain itu, pasangan virtual juga bisa diprogram sesuai kemauan dan preferensi kita. Di dunia maya sekalipun, kalau kita berhubungan dengan manusia nyata, orang itu tetap butuh istirahat, atau kadang dia sedang tidak mood meladeni kita. Sementara itu, program virtual selalu siap sedia tanpa perlu ditanya. Fenomena ini mengindikasikan ekspektasi dan kebutuhan besar dalam diri seseorang terhadap kedekatan dengan orang lain, yang sebetulnya mereka takuti di dunia nyata.

Kita harus membimbing anak-anak kita, dan diri sendiri, agar mampu menggunakan suatu alat dengan bermakna dan agar alat itu tidak mengendalikan kita.

Apa yang bisa dilakukan seseorang yang cenderung menggunakan “alat bantu” seperti itu?

Yang terbaik adalah belajar mengatasi ketakutan kita. Belajar memasuki kehidupan nyata, meski dengan risiko akan mengalami kecewa atau situasi yang tidak berjalan dengan mulus. Dengan cara ini, manusia bertumbuh dan menjadi makin mampu menjalin hubungan nyata.

Kalau saya menulis dengan bantuan realitas virtual, apakah itu artinya saya tidak akan berkembang sebagai seorang manusia?
 
Mungkin akan berkembang juga, tapi harus dilihat dari sudut pandang kerugian yang ditimbulkannya terhadap Anda.
 
Perdebatan di bidang AI tidak banyak menyinggung tentang ketakutan atau kecemasan terhadap masa depan ketika AI akan ada di mana-mana. Apa saran Anda untuk menjawab kekhawatiran ini?
 
Kita perlu melihat kembali relasi kita dengan AI dan perangkat elektronik. Mari ajarkan anak-anak kita, dan diri kita sendiri, agar bisa memanfaatkan perangkat tersebut dengan baik. Jangan sampai kita yang dikendalikan oleh perangkat.

Sekarang ini, kita banyak bicara soal perlindungan kesehatan. Karena kita ingin sehat dan aman, kita pun mengunci diri sendiri dan anak-anak kita di sangkar emas. Tambahan lagi, terjadi pandemi, dan tanggapan masyarakat dunia terhadap pandemi adalah melakukan karantina. Wawancara ini pun berlangsung melalui internet. Memang nyaman dan aman; masing-masing boleh batuk ke layarnya sendiri. Internet jelas adalah alat yang berguna. Tetapi, jika cara virtual seperti ini menjadi satu-satunya metode interaksi, kita juga harus sadar akan potensi kerugiannya. Berinteraksi melalui layar kan berbeda. Saya juga mengalaminya dengan klien-klien saya.

Berbedanya bagaimana?

Tidak ada rasa kedekatan. Kalau hanya dapat berinteraksi melalui layar, saya menjadi frustrasi dan letih. Apalagi, makin muda atau tua seseorang, makin besar kebutuhannya akan kontak fisik. Seorang bayi atau balita merasakan cinta saat mereka dipeluk, ditimang, diusap, dicium, atau ditatap matanya. Orang yang sudah tua juga begitu. Salah satu klien saya, contohnya, bercerita dia menangis di depan pintu rumah lansia. Neneknya tinggal di sana, tetapi sang cucu tidak bisa menjenguk. Memang sih, mereka bisa berkomunikasi lewat layar, tetapi daya penglihatan dan pendengaran neneknya sudah menurun. Sang nenek membutuhkan cucunya agar bisa menggenggam tangannya, mengusap. Kedekatan adalah hal mendasar dalam hubungan manusia dan saya tidak ingin kedekatan itu hilang untuk siapa pun juga.
 

Pavla Koucká

secara profesional berpraktik di bidang pengembangan kepribadian. Dia menyediakan layanan konseling dan terapi untuk orang dewasa, serta kerap membantu para orang tua.

Pavla menempuh studi jurusan Biologi dan Psikologi di dua fakultas di Charles University. Dia menjabat editor profesional dari terbitan ilmiah Lidové noviny dan jurnal psikologi journal Psychologie dnes, yang kemudian dipimpinnya. Dia juga berpengalaman menjadi petugas helpline. Saat ini, Pavla bekerja di rumah perawatan untuk ibu dan anak serta menjalankan praktik pribadi.

Pavla memiliki tiga orang anak. Dia menjadi salah satu penulis buku Výchova láskou (Mendidik dengan Cinta, 2012) dan penulis buku Zdravý rozum ve výchově (Pendidikan dan Akal Sehat, 2014) dan Uvolněné rodičovství (Mengasuh Tanpa Cemas, 2017).

Top