Mobil swakemudi
Harus Dikaji Kasus per Kasus?

Sebanyak dua buah bus listrik swakemudi berjalan di atas rute uji sepanjang 1,5 kilometer antara stasiun kereta Iselohn dan kampus Universitas Ilmu Terapan Südwestfalen (South Westphalia University of Applied Sciences) untuk layanan reguler.
Sebanyak dua buah bus listrik swakemudi berjalan di atas rute uji sepanjang 1,5 kilometer antara stasiun kereta Iselohn dan kampus Universitas Ilmu Terapan Südwestfalen (South Westphalia University of Applied Sciences) untuk layanan reguler. | Foto (rincian): Rupert Oberhäuser © picture alliance / Rupert Oberhäuser

Siapakah yang bertanggung jawab dalam sebuah kecelakaan yang melibatkan mobil swakemudi? Ketika pakar hukum membahas sistem bantuan dan pengemudian otonom, diskusi menjadi rumit. Sebuah pusat kajian khusus di Würzburg yang bernama RobotRecth (“RobotLaw”) didirikan untuk menggeluti pertanyaan-pertanyaan hukum dan teknologi di atas. Staf penelitian Max Tauschhuber menyuguhkan pemahaman terkait hal tersebut.

Pak Tauschhuber, aspek mana saja dari kendaraan yang akan terdampak oleh otomatisasi? Dan apa implikasinya terhadap mobil swakemudi?

Sangat penting untuk menggunakan istilah dengan hati-hati. Kami membedakan berbagai tingkatan untuk kendaraan. Pada 2021, Badan Kajian Jalan Raya Federal Jerman (German Federal Highway Research Institute) mengenalkan sebuah kategorisasi yang terdiri dari tiga tingkatan.

Tingkatan pertama adalah mode dengan bantuan. Pengemudi dibantu untuk melakukan tugas-tugas tertentu dalam mengemudi, namun mereka masih perlu mengamati sistem dan sekeliling mereka secara permanen. Mode ini mencakup bantuan fitur cruise control (penjaga laju kendaraan) dan penjaga lajur.

Lalu, ada mode otonom. Dengan menggunakan mode ini, pengemudi bisa melakukan aktivitas lain, misalnya seperti membaca, dan membiarkan sistem mengambil alih kemudi secara otomatis. Namun, pengemudi harus tetap waspada untuk kembali mengemudi dengan sigap ketika diberitahukan oleh sistem.

Mode ketiga adalah mode swakemudi. Hanya sistem yang mengemudikan kendaraan. Manusia-manusia yang menaikinya hanya menjadi penumpang. Bus-bus yang menggunakan mode swakemudi disebut sebagai shuttle. Dapat dibayangkan bahwa kendaraan jenis ini mungkin tidak lagi memiliki roda kemudi atapun kendali lainnya.

Pada titik manakah pertimbangan hukum masuk ke dalam desain dan pembuatan sebuah kendaraan otonom?

Hal tersebut sangat bergantung dari permasalahan hukum terkait. Ada beberapa standar kualitas, misalnya norma-norma ISO dan DIN. Norma-norma ini bukanlah hukum, melainkan standar yang dibuat oleh badan-badan swasta; namun, tentu saja, dalam skenario terbaik, norma-norma ini berkorespondensi dengan syarat-syarat hukum.

Industri otomotif mempunyai kepentingan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan mendasar yang tidak bisa terpecahkan secara akademis dalam kaitannya dengan pertanyaan fundamental yang tidak tergambarkan oleh norma-norma. Idealnya, hal tersebut dapat diselesaikan sebelum kendaran bisa mulai digunakan di jalan. Perusahaan-perusahaan sering melaksanakannya melalui kerja sama riset– yang merupakan sebagian sumber pendanaan kami–atau proyek-proyek doktoral.

Undang-Undang Lalu Lintas Jalan Raya Jerman (StVG) diamandemen pada 2017. Undang-undang tersebut menyatakan bahwa sistem otonom dapat mengambil alih tugas-tugas mengemudi “dalam kondisi tertentu”. Kondisi-kondisi apakah yang dimaksud?

Di dalam kondisi tertentu, kendaraan yang berada dalam mode otonom diperbolehkan untuk digunakan di jalan-jalan Jerman. Ini adalah upaya legislatif sejenis pertama di dunia.

Kondisi-kondisi tersebut terpenuhi apabila – sederhananya – kendaran yang dimaksud dilengkapi peralatan teknis untuk menjalankan tugas berkendara setelah dinyalakan. Kendaraan harus mampu memahami peraturan lalu lintas, misalnya mengenali tanda berhenti dan bertindak sesuai tanda tersebut. Pengemudi juga harus bisa mengambil alih atau mematikan sistem ini.

Penting untuk memahami bahwa pengemudi masih memiliki hak-hak dan kewajiban dalam skenario ini. Misalnya, hukum tersebut mewajibkan pengemudi untuk segera mengambil alih kemudi ketika sistem meminta mereka untuk melakukannya atau ketika pengemudi menyadari bahwa sistem tidak bekerja dengan baik. Pengemudi boleh melakukan aktivitas yang tidak berhubungan dengan mengemudi, namun harus tetap siaga.

Meski demikian, hukum tersebut tidak memberikan definisi yang jelas atas yang dimaksud “tetap siaga”. Dalam yurisprudensi, ada saatnya hukum menggunakan istilah legal yang belum terdefinisi. Artinya, kasus hukum harus memenuhi syarat-syarat itu dengan kehidupan sehari-hari

Anda tidak bisa mengharapkan siapa pun untuk tahu di titik mana sistem akan membuat kesalahan.

Pada 2021, diumumkan bahwa kendaraan-kendaraan masa depan mungkin diizinkan di jalan umum “di area-area tertentu”. Dapatkah Anda menggarisbawahi perbedaan antara amandemen legislatif ini dengan amandemen tahun 2017?

Pada 2017, kendaran-kendaraan dengan mode otonom diberikan izin. Pada 2021, StVG diperbarui dan sekarang kendaraan yang dijalankan dengan mode swakemudi juga sudah diizinkan.

Itulah perbedaan utamanya. Tidak ada lagi pengemudi di dalam kendaraan, hanya penumpang. Skenario penerapan yang mungkin adalah untuk bus, logistik, layanan pos, dan distribusi dokumen. Lebih dari itu, mungkin saja digunakan untuk perjalanan antara pusat layanan kesehatan dan layanan untuk manula atau panti jompo.

Adakah kota-kota tempat kendaraan semacam itu sudah digunakan?

Ada beberapa tempat yang sudah menggunakan bus shuttle di jalanan, seperti Monheim am Rhein di Rhine-Whestphalia Utara dan beberapa kota di Franconia Utara. Namun, penggunaan ini adalah bagian dari penelitian ataupun proyek percontohan. Itu tidak melalui perizinan dari StVG karena secara prinsip baru diperbolehkan pada tahun lalu. Oleh sebab itu, perizinan khusus diberikan pada kasus-kasus di atas.

Dalam kecelakaan yang melibatkan kendaraan dengan fitur bantuan, otonom, ataupun swakemudi, siapa yang bertanggung jawab atas kecelakaan yang diakibatkan oleh keputusan sistem?

Dalam konteks ini, Profesor Dr. Dr. Eric Hilgendorf, Direktur Pusat Kajian RobotRecht, sering melontarkan kasus Aschaffenburg dari tahun 2012. Sebuah kendaraan yang dilengkapi dengan fitur bantuan penjaga lajur berjalan masuk ke Alzenau, dekat Aschaffenburg. Di pintu masuk kota tersebut, pengemudi mengalami stroke. Dia kehilangan kesadaran, namun tetap memegang roda kendali, membanting kendaraan ke arah kanan. Andaikan kendaraan mengikuti “perintahnya”, dia akan berakhir di semak-semak dan berhenti. Kemungkinan besar, tidak akan terjadi apa pun.

Akan tetapi, alangkah tragis, fitur bantuan penjaga lajur menyetir kendaraan kembali ke jalan. Kendaraan terus bergerak ke dalam kota dengan kecepatan tinggi dan menabrak seorang perempuan muda dan anaknya yang sedang berada di pusat kota. Keduanya meninggal di tempat.

Pendekatan legal apa yang sebaiknya diambil untuk kasus seperti ini?

Ada dua sisi yang harus dipertimbangkan untuk menyelesaikan kasus tersebut secara hukum. Pertama-tama, di lalu lintas jalan raya, ada yang disebut sebagai prinsip pertanggungjawaban mutlak yang bisa berlaku apa pun kesalahannya. Anda bertanggung jawab karena membawa bahaya berizin – sebuah kendaraan – ke ruang publik.

Akan tetapi, ada juga prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan. Dengan kata lain, prinsip ini adalah kebalikan dari pertanggungjawaban mutlak. Anda perlu membuktikan bahwa paling tidak sang terdakwa telah melakukan kelalaian. Ini sangat sulit, bahkan untuk kasus Aschaffenburg: tidak mungkin membuktikan pihak pengemudi bertindak salah karena stroke tidak bisa diramalkan.

Hal tersebut menunjukkan bahwa penggunaan sistem swakemudi di lalu lintas jalan raya akan menjadi makin penting di masa depan karena kesalahan-kesalahan yang dibuat sistem juga tidak bisa diramalkan. Anda tidak bisa berharap siapa pun untuk paham di titik mana sistem akan membuat kesalahan. Oleh sebab itu, sangat mungkin terjadi pergeseran dari prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan ke arah pertanggungjawaban mutlak, atau bahkan ke arah pertanggungjawaban pembuat kendaraan.

Pertanggungjawaban pidana juga lebih sulit untuk ditetapkan. Dalam hukum pidana, ada yang disebut asas kesalahan. Artinya, dalam setiap peristiwa Anda harus membuktikan bahwa pelaku secara langsung berbuat salah. Dalam hukum pidana, kesalahan berarti niat atau kelalaian. Di lalu-lintas jalan raya, Anda akan sangat jarang bisa mengasumsikan niat. Namun, jika bisa membuktikannya, kasusnya akan menjadi sangat terang.

Semua menjadi rumit ketika menyentuh kelalaian. Bayangkan: ketika parkir dengan menggunakan sistem bantuan, seorang anak yang bermain di area parkir terluka karena sensor kendaraan kotor dan tidak mendeteksi anak tersebut. Bertindak lalai berarti tidak menggubris persyaratan uji tuntas dalam berlalu lintas. Itulah definisi dasar kelalaian.

Anda tentu dapat berkata bahwa fitur bantuan memarkir dirancang untuk melakukan swaparkir sehingga pengemudi tidak perlu memperhatikan apa pun setelah fitur dinyalakan. Namun, pengemudi yang awas akan berasumsi kemungkinan adanya kotoran – dan kemungkinan adanya anak-anak yang bermain di area parkir. Oleh sebab itu, fakta bahwa penggunaan sistem teknis otonom tidak mengasumsikan pengecualian pengguna sistem tersebut dari pertanggungjawaban pidana.

Hukum mewajibkan bahwa sistem tidak boleh memberikan prioritas atas karakteristik individual.

Seperti apakah peristiwa kecelakaan yang melibatkan kendaraan swakemudi total di mana pengemudi tidak bertanggung jawab, atau bahkan tidak bisa, untuk mengambil alih kemudi?

Hal ini pun menjadi makin rumit. Misalnya saja, bagaimana seharusnya sebuah kendaraan menangani keputusan yang berdampak pada nyawa atau keutuhan jasmani sekarang sudah diatur oleh hukum.
Salah satu prasyaratnya adalah kendaraan bermotor menggunakan sistem penghindaraan kecelakaan. Hal itu berarti kendaraan mampu menghindari dan mengurangi bahaya. Berikut bagian yang menarik: ketika sistem mengenali keadaan adanya pelanggaran hak-hak yang dilindungi hukum – misalnya keutuhan jasmani ataupun nyawa – tidak terhindarkan, sistem tersebut harus mampu mengidentifikasi secara mandiri hak-hak terlindungi mana yang harus ia prioritaskan. Permasalahan seperti ini adalah dilema etis.

Apabila terdapat dua alternatif bahaya yang tidak terhindarkan, sistem kendaraan harus secara otomatis memberikan prioritas tertinggi pada perlindungan terhadap nyawa manusia. Maka, jika kendaraan memiliki pilihan untuk mencederai atau membunuh seorang manusia, maka ia sepatutnya memilih mencederai.

Hal ini dapat kita bahas lebih jauh lagi. Bagaiman jika nyawa manusia dipertaruhkan pada kedua alternatif itu? Dalam kasus-kasus seperti ini, hukum mengatur bahwa sistem tidak boleh memberikan prioritas atas atribut-atribut individual. Tidak boleh terjadi situasi ketika kendaraan mendeteksi umur seseorang dan secara otomatis membunuh orang yang lebih tua.

Meski demikian, sistem juga tidak seharusnya melakukan evaluasi secara kuantitatif. Sistem tidak boleh memilih antara 100 nyawa manusia atau satu nyawa manusia. Inilah pertanyaan etis besarnya dalam diskusi kasus-kasus ini. Diskusi ini sudah berjalan sejak ribuan tahun lalu – sebelum kendaraan swakemudi diciptakan. Sekarang, kendaraan diharapkan untuk dapat melakukannya. Namun untuk sementara ini, hal tersebut mungkin masih terhalang batasan teknis.

Wawancara dilakukan oleh Juliane Glahn, peserta pelatihan penyuntingan daring di majalah Zeitgeister.

Top