Guyub | Convivialities


Tak berapa lama setelah Indonesia merdeka, Belanda membonceng Sekutu dan berusaha untuk kembali menguasai Batavia. Atas nama keamanan, pada 4 Januari 1946, ibukota dipindahkan ke Yogyakarta dan Istana Kepresidenan RI dipindahkan ke Gedung Agung di depan gerbang utara Kraton Yogyakarta. Belanda yang menolak kemerdekaan Indonesia mulai menyerang dari segala lini. Salah satu foto yang kerap muncul dari periode ini adalah pertemuan antara (dari kanan ke kiri) Wakil Presiden M. Hatta, Presiden Sukarno, Jenderal Soedirman, dan T.B. Simatupang. Ibu Negara, Fatmawati, hadir dalam foto itu melalui lukisan Basuki Abdullah yang disandarkan ke dinding dan diletakkan di atas meja, di samping tempat duduk Bung Karno. Di dinding di belakang tempat duduk Bung Karno dan Bung Hatta, tampak sebuah lukisan ombak yang mengamuk dan lautan tenang di penghujung horizon, tempat laut bertemu dengan langit siang berawan mendung. Seisi ruangan tampak sedang memperhatikan Bung Karno, tak terkecuali Bung Hatta yang duduk di sebelahnya. Amukan ombak dalam lukisan seolah mewakili ketegangan percakapan mereka.

Sementara di Jakarta, ketegangan lain tersirat dalam foto koleksi IPPHOS yang merekam suasana pesta pergantian tahun 1946 ke 1947 di Jalan Cendana, Menteng. Tampak dalam foto antara lain Menteri Luar Negeri Dr. Haji Agus Salim yang diapit Jane Waworuntu, penerjemah kondang sekaligus pemilik rumah, di sebelah kirinya, dan Emiria Sunassa, perempuan pelukis modern pertama di Indonesia, di sebelah kanannya. Dalam foto yang hampir setengah isinya orang kulit putih, kehadiran mereka tampak seperti sekelompok orang unggulan dengan ambisi mulia yang terkepung dalam dunia kekuasaan musuh. Keriaan malam tahun baru tampak di wajah para hadirin dalam foto. Pakaian mereka juga mengindikasikan kelas sosial dan ragam pesta yang mereka adakan—dansa dan cocktail jelas terlibat dalam pesta ini. Dalam foto ini, dua lukisan yang hadir seolah mewakili atmosfer kebersamaan mereka, setidaknya pada malam foto ini diambil. Di ujung kiri foto ada lukisan potret Jane. Sementara di tengah foto ada lukisan Emiria (ditandangani pada 1943) yang menggambarkan sebuah teras dengan dua pot tanaman yang dilihat dari dalam rumah. Sebuah gorden merah tebal membingkai sisi kiri lukisan ini. Teras, gorden, dan kenyataan bahwa keduanya menjadi subjek dalam lukisan menandakan identitas serta perspektif sosial pelukis dan pemilik lukisan yang memajang lukisan itu.

Dalam kedua foto ini, lukisan yang hadir menggaris-bawahi bermacam ketegangan dengan cara yang nyaris tak bisa kita bayangkan disengaja oleh siapapun, baik mereka yang memotret maupun mereka yang memasang lukisan-lukisan tersebut. Pada lukisan ombak karya pelukis asal Belanda Wihelminus Jean Frederic Imandt, sulit membayangkan laut atau horizon mana yang digambarkan pelukis Belanda itu. Langit dan laut adalah pemersatu dunia. Dari mana pun, mereka tampak serupa. Langit siang berawan mendung, dalam lukisan di Gedung Agung, bisa kita bayangkan sering terjadi di sekeliling khatulistiwa atau pada musim panas di negara empat musim. Sementara langit temaram dalam lukisan Emiria, didukung tanaman kaktus dalam pot dan gorden berbahan serupa beludru, menurut Heidi Arbuckle, jelas bukan biru langit negara tropis. Apa pun ketegangan yang berlangsung di balik kedua foto tersebut, tak sulit rasanya membayangkan momen makan bersama di tengah perjamuan seluruh orang dalam foto itu.

*

Karya-karya dalam bagian pameran ini menyuratkan atau menyiratkan ajang makan bersama, apa pun kondisi politik, sosial, dan ekonomi yang sedang berlangsung. Semua orang butuh makan. Terlebih lagi, makan-makan kerap menjadi tanda atas suatu perayaan, tujuan dari berkumpulnya banyak orang. Selalu ada keramahtamahan dalam setiap perjamuan. Dalam situasi genting, ketika sang tuan rumah belum tentu berkecukupan, makan-makan terjadi karena setiap manusia membutuhkannya. Dan, sang tuan rumah tahu betul, sesederhana apa pun makanan yang ia sajikan akan tetap berarti banyak. Kerendahan hati dan keterbukaan tak terhindarkan dalam tatanan makan bersama semacam itu. Sementara dalam sebuah perayaan, makan-makan adalah akibat dari keriaan. Seringkali, bukan hanya yang punya hajatan yang makan bersama, melainkan juga siapa pun di sekitar mereka, di lingkungan sosial tempat hajatan berlangsung. Dalam sebuah kegiatan yang memang bertujuan makan-makan, selalu ada misi lain. Demi mencapai cita-cita lain itu, keramahtamahan menjadi kunci. Makan-makan hampir selalu mengesampingkan perbedaan, sekalipun sementara.