Daya | Forces


Pada 1815, Gunung Berapi Tambora meletus. Selain perubahan iklim berkala bagi sebagian besar kawasan Eropa, 1816 dikenang sebagai Tahun Tanpa Musim Panas. Belum lama ini, ketika dunia memperingati dua abad meletusnya Tambora, salah satu dampak yang dibicarakan adalah lahirnya sosok monster Frankenstein. Novelis Mary Shelley terpaksa duduk diam dalam kastilnya bersama kawan-kawannya saat awan abu tak kunjung usai menderu sampai satu-dua tahun setelah Tambora meletus. Horor, ketidakpastian, dan keganjilan hubungan antara manusia, kehidupan, mesin, serta kehidupan yang diidealisasikan melalui tokoh bikinan ilmuwan kesepian ini telah berulang kali hadir dalam beragam zaman sampai hari ini—dari film bisu garapan Edison Studios pada 1910, bermacam film garapan studio film masyhur yang judulnya menyebut nama Frankenstein, hingga puisi, cerpen, komik dari berbagai belahan dunia. Apakah ketakutan akan kesendirian sang ilmuwan pencipta monster yang membuatnya masih relevan sampai hari ini? Atau, kebutuhannya untuk memiliki teman? Monster Frankenstein versi mana yang pertama kali Anda kenal? Siapa yang mempertemukan Anda dengannya?
 
Pada 19 April 2012, Nathan Hatton mengunggah hasil suntingannya atas video dokumentasi seni rupa pertunjukan Exergie – Butter Dance karya Melati Suryodarmo di Malmo (2010). Permainan perkusi Daeng Basri Sila dan Khaeruddin yang melatari karya Melati digantinya dengan lagu Someone Like You yang dinyanyikan Adele. Pada hari yang sama, sebuah blog pengepul video dengan 500.000-an pengunjung harian mengunggah ulang video ini dan menambahkan logonya, World Star Hip-hop. Masih pada hari yang sama, kontributor situs Vice, Clive Martin, ‘berteori’ atas unggahan World Star Hip-hop ini. Menurut interpretasinya, karya Melati memuat enam dimensi, yakni sebagai: (1) pernyataan post-feminist mengenai perempuan modern di dalam budaya patriarki; (2) refleksi tentang bagaimana berpenampilan menggairahkan bisa jadi merendahkan; (3) ekspresi ketakutan perempuan akan peran keibuan; (4) ilustrasi konflik dalam diri antara kepura-puraan borjuis dan dorongan hewani; (5) simbolisasi voyeurism; dan (6) kritik atas praktik barbar industri susu (dairy).

Tak soal apakah interpretasi Clive Martin ini sesuai atau tidak dengan pernyataan apalagi latar belakang karya Melati. Toh karya seni bebas dimaknai siapapun dengan bagasi berpikir apa pun. Tak berapa lama kemudian, seperti bisa dibaca dalam kolom komentar di akun YouTube Nathan Hatton, sejumlah orang mengunjungi video ini karena sulutan komika Grace Helbig dan Hannah Hart. Masih pada bulan yang sama, April 2012, BBC meluncurkan artikel yang bertujuan meluruskan fakta di balik pembuatan video ini. Dalam sekejap, lebih dari satu dekade setelah dihadirkan dalam bentuk performance art, karya Melati viral! 

Internet memang bergerak secepat itu. Anehnya—atau menariknya?—dunia seni rupa kita seperti tak terhubung dengan internet atau publik secara umum. Setahun kemudian, majalah Art Asia Pacific, edisi September/Oktober 2013, menerbitkan profil dan selintas kekaryaan Melati tanpa menyinggung arus pemberitaan seputar Exergie – Butter Dance (2000) yang telah menembus milyaran penonton itu. 

Secara sederhana, Melati menjelaskan prosedurnya untuk karya ini, “Saya masuk ke dalam ruangan di mana ada setumpuk margarin di hadapan penonton, kemudian saya menginjak margarin, mulai menari, dan membiarkan diri saya jatuh. Kalau saya jatuh, maka saya akan bangkit dan berupaya menari lagi. Langkah-langkah ini saya ulang sampai energi saya habis, lalu saya melepas sepatu saya dan keluar dari ruangan.” Bagi mereka yang pernah secara langsung menonton karya Melati ini, was-was, rapuh, pasrah, dan, akhirnya, capek adalah getaran perasaan yang umum terpapar dari letupan-letupan energi Melati yang terus-menerus jatuh, bangkit, dan menari. 

*


Bagaimana informasi sampai ke tangan Anda hari ini? Pentingkah sosok pembawa kabar, penyebar berita, penyampai pesan ini? Mana yang lebih penting antara kabar, berita, atau cerita dan pembawa atau mediumnya? 

Karya-karya dalam bagian pameran ini mengandung jejak-jejak pengaruh kebudayaan yang jauh, yang pernah asing bagi pembawanya. Mulai dari pengaruh maestro yang pernah menjadi sosok pengajar atau guru bagi para seniman dalam bagian ini, sampai dengan kebudayaan baru yang menempa hidup para seniman ini dalam masa tertentu. Pertemuan-pertemuan yang mengejutkan, baru, atau aneh di luar ruang hidup sehari-hari para seniman dalam bagian pameran ini, mereka kenali, hargai, dan lakoni, walaupun sementara (karena masa pendidikan, residensi, berpindah tempat karena urusan keluarga, dan lain sebagainya). Sesuatu yang tadinya asing perlahan menjadi bagian dari diri mereka, menubuh dalam laku keseharian mereka, dan mewujud dalam kekaryaan mereka.