Keberpihakan | Allegiances


Di tahun yang sama tahun 1960, Tren Penampilan dan Gaya Busana diambil alih oleh The Beatles. Sementara bagi Presiden Sukarno, kegandrungan ini serta-merta ditudingnya sebagai bentuk penjajahan baru. In the 1959 NKRI meeting, he asked, "Can it be that there is rock n roll-rock n roll-an, dansa-dansi ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak ngik ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi in the capital?"

Hampir di seluruh penjuru bumi ini, tren penampilan dan gaya busana pada 1960-an lekat dengan The Beatles. Sementara bagi Presiden Sukarno, kegandrungan ini serta-merta ditudingnya sebagai bentuk penjajahan baru. Dalam pidato peringatan NKRI 1959, ia meracau, “Kenapa di kalangan engkau, banyak yang masih rock n roll-rock n roll-an, dansa-dansi ala cha-cha-cha, musik-musikan ala ngak ngik ngok, gila-gilaan, dan lain sebagainya lagi?” Lalu, pada kemudian hari, “Masih banyak lagu Indonesia, kenapa mesti ke-Elvis-Elvis-an?” Tak lama setelah kekuasaan berpindah tangan ke rezim Orde Baru, ABRI justru menggelar konser musik ke segala pelosok Indonesia di mana panggung diisi oleh musisi Barat bersandingan dengan musisi Indonesia. Selain untuk merebut hati rakyat, Ronny Agustinus (Video, not all correct…, 2003)  membaca gestur ini sebagai upaya menunjukkan kepada penanam modal asing bahwa Indonesia tidak anti-Barat. 

Pada kisaran waktu yang sama, di Chile, sebuah gerakan masyarakat bernama Operación Verdad (Operasi Kebenaran) lahir. Digawangi para pejuang demokrasi, operasi ini menolak hegemoni media massa nasional yang dikuasai segelintir keluarga pebisnis besar. Premis kampanye Operasi Kebenaran adalah “komunikasi yang radikal”. Artinya, mereka menyebarkan segala informasi tandingan terhadap apa-apa yang disebarluaskan media massa resmi yang kerap ditulis sesuai kepentingan penguasa. Operasi Kebenaran terbukti sukses mendorong Salvador Allende menjadi presiden dan demokrasi sosialisme menjadi panglima politik negara selama 1970–1973. Selama periode singkat itu, Chile membangun Muse de la Solidaridad (Museum Solidaritas) yang berisi karya-karya donasi para perupa dari seluruh penjuru dunia yang mendukung perjuangan kebebasan Chile. Premis museum ini, “perjuangan sebagai budaya”, mengacu pada perkembangan budaya Dunia Ketiga dengan landasan keberpihakan yang jelas: untuk masyarakat, oleh masyarakat.

Manifestasi kebudayaan seputar pemikiran Dunia Ketiga, Non-Blok, atau Selatan Global kerap merujuk pada Konferensi Asia-Afrika 1955 sebagai pembakar semangatnya. Ada tiga puluhan bendera nasional yang berkibar di Bandung kala itu. Sebagian belum diakui kemerdekaannya, sebagian lagi kemudian bergabung atau berpisah. Pada saat itu, yang mempersatukan mereka adalah semangat antipenjajahan, antiimperialisme, dan gagasan kebebasan yang berpihak pada masyarakat (the people). Dalam ranah seni rupa, garis pemikiran ini bisa kita temukan dalam penyelenggaran, antara lain, Bienal de São Paulo (sejak 1951); Biennial of Graphic Arts (Ljubljana, sejak 1955); Alexandria Biennale for Mediterranean Countries (sejak 1955); Japan, Asian, African and Latin American Artists' Association (JAALA, sejak 1958); Fukuoka Asian Art Triennale (sejak 1979); Asian Art Biennale Bangladesh (sejak 1981); Havana Biennale (sejak 1984); dan Australia and the Regions Exchange (ARX, 1987–1999).

Kembali ke Chile, Museum Solidaritas dibuka pada Mei 1972 dengan memamerkan karya-karya kiriman para seniman dari seluruh penjuru dunia. Segera setelah pembukaan, pameran selanjutnya dirancang. Lingkar seniman di balik pendirian museum menginginkan Pablo Picasso untuk mengirim karyanya, Guernica (1973). Salah satu alasan utama mereka adalah karena pada waktu itu mahakarya antiperang Picasso disimpan dan dipajang di Amerika, “negara penyebab guernica [perang] terbesar di dunia”. Keberpihakan Picasso pada tragedi yang menimpa masyarakat Guernica—sebuah kota kecil di Basque—seolah melampaui kebencian dan segala amarah terhadap fasisme Nazi. Kecenderungan kubisme dan pendekatan abstrak Picasso tidak mengaburkan siratan kesedihan dalam lukisannya, tapi malah mempertegasnya. Keberpihakan para seniman di balik Museum Solidaritas pada masyarakat korban kekejian perang kekuasaan politik dunia jelas terpancar dari surat permintaan pengiriman karya ini yang sekaligus merinci bagaimana caranya pengiriman lukisan ini bisa ditempuh.

*

Seolah menolak prasangka bahwa sejarah hanya akan dituliskan dengan baik dan manjur ketika ia bersinggungan dengan politik dan kekuasaan negara, karya-karya dalam bagian ini mewujudkan keberpihakan antarmanusia, baik antarpribadi, pribadi dengan kelompok, maupun antarkelompok. Mulai dari yang secara terang-terangan menghadirkan masyarakat yang ditindas kekuasaan (militer, ideologi politik, negara) sampai dengan masyarakat yang dikelompokkan oleh kondisi sosial dan ekonomi tertentu. Bagaimana bisa segelintir orang berhak mengelompokkan orang lain? Pola kekuasaan apa yang berlangsung di baliknya? Kepada siapa seniman berpihak? Semsar Siahaan (1952–2005) dengan lugas menuliskan, “Esensi seniman adalah Hak Asasi (Manusia) untuk kemerdekaan”. Beragam bentuk kekejian kemanusiaan dihadirkan para perupa melalui beragam pendekatan, tatanan pengolahan bahan, keterampilan tangan, hingga olah rasa atas pengamatan hidup mereka. Keberpihakan para perupa ini tentu tak lekang dari ragam privilese yang menjadi bagasi dan cita-cita mereka akan masa depan yang lebih baik.