Kenduri | Festivities


Dalam wacana seni rupa modern, Paul Gauguin cukup sering dibicarakan karena unsur non-Barat dalam karyanya. Sejak kecil, ia memang berpindah-pindah rumah mengikuti keluarganya. Kajian atas karya Gauguin belakangan ini mengungkap bagaimana foto-foto relief Borobudur yang dibawa sang pelukis dalam perjalanannya ke Tahiti juga terwujud dalam lukisannya. Dua lembar foto potongan relief Borobudur ini disimpan dengan baik oleh Victor Segalen, sahabat pena Gauguin. Menurut Bernard Dorival, setidaknya ada dua unsur karya Gauguin yang berasal dari foto-foto yang selama lebih dari satu dekade selalu ia bawa ke mana-mana itu. Pertama, kesan animasi atau gestur bergerak para figur dalam lukisan Gauguin. Kedua, detail dedaunan dan pohon seperti yang bisa kita lihat dalam lukisan pertama yang ia buat di Tahiti, Ia Orana Maria (Hail Mary, 1891). Lukisan yang dianggap sebagai awal dari kekaryaannya yang bercorak Orientalis ini justru menghadirkan sisi Katolik dari masyarakat pulau jajahan Prancis itu. Apakah ini berarti kepercayaan setempat sudah mulai punah saat Gauguin tiba di sana? Atau ini keterkejutan sang pelukis bahwasanya sebuah tempat yang ia bayangkan nun jauh di sana ternyata terlalu mirip dengan kampung halamannya?

Berkebalikan dari lukisan-lukisan Gauguin, hampir tak ada relief yang menampilkan kehidupan yang sepi, berjauhan, dan individualis di Candi Borobudur. Ritual dalam kehidupan raja, pendeta, penguasa dalam bentuk apa pun selalu menciptakan ruang untuk kerumunan, untuk rakyat berkumpul. Sosok raja atau pendeta jelas terbatas jumlahnya. Untuk menonjolkan mereka, butuh penggambaran sekelompok sosok lain yang tampak seragam sebagai pembanding. Sampai hari ini, penggambaran penguasa masih senada—satu atau sekelompok kecil orang dengan kostum yang menonjol atau bahkan di atas panggung, dikelilingi keramaian yang lazim. Siapa yang memulai tradisi penggambaran semacam ini? Atau kekuasaan memang bekerja dengan cara yang serupa di berbagai belahan dunia, apa pun iklim maupun keadaan alamnya?

Selalu menarik membayangkan bagaimana suatu kebudayaan bergerak, berpindah, diserap, diwariskan, ditolak, maupun disesuaikan. Belum lagi membayangkan perubahan atau penyesuaian makna yang terjadi dalam perjalanannya. Budaya kenduri, misalnya, kerap diidentikkan dengan budaya selamatan di Jawa. Padahal istilahnya bermuara dari para pedagang Hindustani dan sudah dipraktikkan oleh berbagai kebudayaan di nusantara jauh sebelum Islam menyebar. Kenduri adalah ajang yang diselenggarakan oleh penguasa dan terbuka untuk rakyat. Interaksi antara rakyat yang hadir dan menikmati keterbukaan ini bukan tujuan penyelenggaranya. Seperti halnya keramaian yang diterakan pada relief Candi Borobudur, kehadiran rakyat dibutuhkan untuk mendemonstrasikan kinerja sang penguasa. Hadirnya elemen rupa dari relief Candi Borobudur, yang bercampur dengan kekaguman Gauguin akan kehidupan masyarakat Oseanik, juga menjadi bukti privilese seniman untuk memilih kenyataan yang ingin diwakili atau digunakannya.

*


Pada bagian pameran ini, keramaian dan keriaan justru jadi menyeragamkan, menggolongkan, atau mengelompokkan orang pada satu kecenderungan, label, atau ideologi tertentu. Dalam amatan Paul Gilroy (After Empire, Routledge, 2004), wacana multikulturalisme telah terlalu sering digunakan untuk menghindari percakapan yang terbuka mengenai pengaruh penjajahan, perbudakan, dan imperialisme dalam kenyataan politik hari ini. Seolah menggemakan amatan tersebut, karya-karya dalam bagian pameran ini cenderung menjadi katalisator keberpihakan politik dan sosial para senimannya, dan bukan lingkungan hidupnya. Privilese seniman benar-benar dijalankan dalam hal pemilihan subjek sehingga karya-karya mereka menjadi semacam alat peraga kebenaran tertentu. Bisakah karya-karya ini disebut propaganda? Dari, oleh, dan untuk siapa karya-karya ini bertutur? Apakah kenduri-kenduri yang memancing keramaian massa ini benar-benar mewakili kebutuhan rakyat? Kalau tak serta-merta bersepakat pada agenda kenduri, apakah para seniman dalam bagian pameran ini menawarkan agenda lain? Apakah penguasa akan selalu menang? Bagaimana seniman menggunakan privilese kuasanya dalam bidang karyanya? Selain pengelompokan yang tersurat, adakah yang disiratkan oleh karya-karya ini? Adakah ruang untuk keberagaman dalam keramaian yang cenderung seragam dalam rangkaian kenduri ini? Dapatkah kita, selaku pemirsa karya, menciptakan ruang tersebut melalui pembacaan kita?