Akses cepat:

Langsung ke konten (Alt 1) Langsung ke menu utama (Alt 2)

Kecerdasan Buatan (AI) & Kekayaan Intelektual Musik buatan mesin itu milik siapa?

Mann sitzt vor Bildschirmen
© Unsplash

Anda masih ingat Napster? Sekelompok anak muda yang membawa prototipe sederhana untuk mendistribusikan musik lewat barang baru bernama internet menjadi bahan tertawaan para pembesar industri musik. Anak-anak muda itu akhirnya bergerak sendiri, dan lima tahun kemudian omzet keseluruhan industri musik pun merosot sampai tinggal sepertiga dari nilai tertingginya. Industri musik tidak pernah pulih dari pukulan itu. Sekarang kita kembali berada di ambang revolusi teknologi yang signifikan di dunia musik, yaitu kemunculan AI kreatif, dan sekali lagi tercium aroma peluang yang memabukkan bercampur dengan potensi malapetaka.

Kali ini, kekayaan intelektual yang menjadi masalah. Dan kali ini kita tidak boleh keliru.

Industri musik modern beroperasi atas dasar kekayaan intelektual. Sejujurnya, ini sudah terlihat kalau kita memperhatikan proses peradilan (yang begitu banyak), atau investasi besar-besaran untuk membeli hak cipta musik baru-baru ini. Tetapi untuk sebuah industri yang mengembangkan sampling dan lagu cover, hubungan dengan kekayaan intelektual tetap kompleks, tidak menentu, dan kontradiktif. Terutama dalam kaitan dengan AI.

Masalahnya, hakikat kekayaan intelektual adalah bahwa penulis lagu (atau musisi atau produser) memiliki hak atas karya musik, jika mereka berkontribusi dalam proses penciptaan lagu tersebut. Tetapi dengan keterlibatan AI timbul ketidakjelasan mengenai siapa tepatnya yang memberikan kontribusi. Sebab meskipun kita membayangkan AI sebagai sesuatu tanpa bentuk yang jelas, sesungguhnya AI terdiri dari berbagai aspek: kode untuk menuliskan algoritmanya, data yang diumpankan, orang-orang yang mengolah data tersebut, serta orang pada ujung rantai itu yang menekan tombol start.

Ini akan menjadi masalah. Walau AI sering dibahas dalam konteks yang cenderung bersifat akademis, kecerdasan buatan kreatif akan berdampak besar di bidang musik dan – ini penting diperhatikan – bukan hanya sebagai komputer yang menulis lagu. Sekarang pun AI sudah memacu bentuk-bentuk baru sintesis audio, membuat rekaman master, menciptakan instrumen dan tiruan suara yang sebelumnya mustahil. AI berpotensi memberi kontribusi pada setiap aspek produksi musik yang melibatkan abstraksi dan penerapan pola.

Jadi, pertanyaannya adalah: Siapa pemilik lagu yang ditulis oleh AI, instrumen yang diciptakan oleh AI, atau suara yang direkayasa oleh AI?

Dan lebih penting lagi, siapa yang seharusnya menjadi pemilik semua itu?

Apakah Android bermimpi tentang hak milik?

Industri musik bukanlah yang pertama bergulat dengan pertanyaan ini. Ternyata, sebuah kasus pengadilan pada tahun 2007 terkait buku telepon di Australia menjadi preseden seperti apa perlindungan hak cipta untuk konten yang dihasilkan melalui algoritma (tidak, Anda tidak salah baca, memang benar buku telepon).
Kotak telepon dengan direktori telepon. Sebuah kasus pengadilan pada tahun 2007 terkait buku telepon menjadi preseden seperti apa perlindungan hak cipta untuk konten yang dihasilkan melalui algoritma. | © Unsplash Halaman Kuning setempat menemukan bahwa salah satu kompetitor mengambil hasil pencarian langsung dari pangkalan data mereka, dan segera menyeretnya ke pengadilan karena pelanggaran hak cipta. Namun, setelah beberapa pertimbangan, pengadilan mengeluarkan putusan yang tidak terduga: Berhubung buku telepon itu disusun dengan algoritma dan dengan keterlibatan manusia yang minimal, buku telepon tersebut tidak mendapat perlindungan hak cipta. Gugatan bersangkutan ditolak.

Meskipun preseden ini menyangkut algoritma yang sederhana, konsekuensinya masif bagi karya yang dihasilkan dengan kecerdasan buatan. Sistem AI seperti algoritma buku telepon di atas secara otomatis menemukan pola dalam data yang diumpankan, dan kemudian mengeluarkan hasil. Dalam prosesnya memang ada banyak kontribusi manusia, tetapi hasil akhirnya dibuat secara otonom. Akibat preseden itu, musik ciptaan AI kemungkinan besar akan kehilangan perlindungan hak cipta di Australia.

Perdebatan serupa terjadi di seluruh dunia. Di AS, yang dapat dikatakan sebagai pusat keuangan dunia musik dewasa ini, lagu ciptaan kecerdasan buatan menghadapi risiko digolongkan sebagai “karya derivatif” akibat ketergantungan pada data orang lain. Karya derivatif seperti itu tidak dilindungi hak cipta dan bahkan dapat menjadi pelanggaran hak cipta untuk pemegang hak cipta semula. Andai kata para pekerja kreatif mau berargumen bahwa penggunaan data itu termasuk “penggunaan wajar”, putusan dalam gugatan seperti di atas akan bergantung pada pandangan tiap-tiap hakim – sebuah situasi penuh ketidakpastian yang akan membuat setiap musisi serius menjadi gelisah.

Jadi, sepertinya putusan hakim di Australia itu mengarahkan kita ke dunia tempat konten yang dibuat oleh AI tidak dapat dimiliki. Tetapi itu berarti tidak ada insentif finansial bagi pekerja kreatif untuk bereksperimen atau berinovasi dengan peluang kreatif yang ditawarkan oleh AI secara kreatif, karena apa pun yang mereka hasilkan itu tidak dilindungi dari hak cipta sehingga tidak dapat dimonetisasi.

Sebuah kelompok bernama The Artificial Inventor Project bertekad mengubah keadaan tersebut. Kelompok itu mengembangkan model bernama DABUS, yang mampu menghasilkan reka cipta yang aneh, tetapi unik. Dengan mencoba mematenkan reka cipta mereka di berbagai negara di seluruh dunia, kelompok itu berharap mampu menunjukkan bahwa karya yang dihasilkan oleh AI pun dapat merupakan hak milik. Pada tahun 2021, mereka berhasil dan kantor paten Afrika Selatan menjadi yang pertama di dunia yang memberikan hak paten kepada sebuah AI. Dengan demikian, para pereka cipta itu berhak atas pendapatan hasil pemanfaatan paten mereka.

Namun, sekalipun monetisasi sebuah reka cipta tampak sebagai langkah ke arah yang tepat, kita bisa mempertanyakan apakah para pereka cipta DABUS patut memperoleh 100% pendapatan tersebut. Jika kita berpegang pada keterangan yang diumumkan oleh Artificial Inventor Project mengenai algoritma mereka, tampaknya DABUS – sebagaimana sebagian besar sistem AI lainnya – dilatih dengan kumpulan data yang dibuat oleh orang lain. AI tanpa data pelatihan hanyalah wadah kosong, setumpuk kode yang mampu belajar dari pola, tetapi tidak memiliki apa pun untuk dipelajari. DABUS bukan hanya sebuah reka cipta yang unik, melainkan (sebagaimana semua kecerdasan buatan lain) bisa ada berkat data yang digunakan untuk melatihnya.

Jadi, sementara pelepasan hak atas semua karya yang dihasilkan dengan komputer itu mematikan inovasi, pemberian semua hak kepada orang yang menjalankan kode itu mengabaikan sumber kecerdasan AI. Kenyataan bahwa banyak model AI besar yang modern beroperasi dengan data yang tidak berlisensi juga semakin memperkeruh situasi (salah satu model musik AI terbesar, yaitu Jukebox, dilatih dengan 1,2 juta lagu yang dicomot begitu saja dari internet tanpa mendapatkan izin).

Perlu ada jalan tengah yang mendukung bukan hanya para pengguna AI, tetapi juga para pemilik data yang digunakan untuk melatih AI bersangkutan.

Kalau soal musik, ehm ... intinya adalah Vibe keseluruhannya.

Kalau pun masalah asal-usul data ini berhasil diatasi, para pekerja kreatif yang bereksperimen dengan musik AI akan segera menemukan masalah yang lebih besar lagi, yaitu mesin yuridis industri musik.

Sebagian besar algoritma AI modern tergolong model statistik yang meminimalkan “kehilangan” pada set data. Dalam praktik, ini berarti bahwa AI berusaha meniru set data bersangkutan setepat mungkin. Di bidang musik, hal ini dapat didengar pada sebuah lagu ciptaan Jukebox milik Open AI, yang antara lain dilatih dengan kumpulan karya Prince – kemiripannya dengan lagu ciptaan Prince, meskipun agak terdistorsi, tetap sangat jelas dan sekaligus meresahkan.

Sekalipun keluaran AI tidak benar-benar mengandung bagian dari data semula, setiap kemiripan dengan karya yang dilindungi hak cipta dapat menjadi dasar bagi kasus pelanggaran yang menghancurkan, dan untuk ini sudah ada banyak preseden di industri musik.

Pada tahun 2015, ahli waris Marvin Gaye berhasil menggugat Robin Thicke & Pharrell Williams atas lagu mereka Blurred Lines, karena lagu itu konon melanggar hak cipta lagu Got To Give It Up milik Gaye, walaupun tidak ada kesamaan melodi, akor, maupun sampel. Proses pengadilan tersebut berfokus pada ‘suasana’ lagu itu, yang cukup mirip sehingga pengadilan menyatakan keluarga Gaye berhak atas kompensasi sebesar hampir 5 juta dolar. Baru-baru ini, Olivia Rodrigo memberikan pengakuan sebagai pencipta lagu kepada sejumlah artis yang mempengaruhi album terbarunya, setelah mendapat tekanan publik karena lagu-lagunya memiliki vibe yang serupa.

Hal yang sama berlaku untuk gaya dan ciri khas artis individual. Pada tahun 1998, Bette Midler berhasil menggugat Ford Motor Co., setelah perusahaan itu merekrut salah satu penyanyi latar Midler untuk tampil sebagai dirinya dalam sebuah iklan mobil. Ford memiliki izin untuk menggunakan lagu tersebut dan nama serta gambar Midler tidak digunakan sehingga kasus ini merupakan uji coba apakah kemiripan dengan suara Midler masuk dalam ranah perlindungan hak cipta atau tidak. Ternyata, jawabannya adalah ya.

Jadi, kalau AI dilatih dengan lagu, gaya, atau suara artis tertentu, keluarannya menurut standar musik yang berlaku saat ini tampaknya tidak dapat diakui sebagai milik Anda. Di satu sisi ini bagus – tidak ada yang menginginkan sebuah dunia tempat setiap orang dapat mencomot dan mengeksploitasi jerih payah para artis secara gratis. Namun, di sisi lain, ini berarti tidak ada jalan yang jelas di bidang ini bagi artis yang sedang berkembang. Para artis membutuhkan struktur hukum yang adil, yang memungkinkan mereka bereksperimen dan mencipta dengan menggunakan AI tanpa dibayangi kekhawatiran akan gugatan yang akan menghancurkan mereka.

Masa depan musik & kekayaan intelektual

Jadi, bagaimana kita akan memecahkan untuk masalah ini? Saya berkeyakinan bahwa kita memerlukan cara untuk melisensikan data dengan mudah dan membayar kompensasi yang adil dengan royalti – yang akan memberikan insentif dan perlindungan baik kepada para artis yang menghasilkan musik orisinal maupun kepada mereka yang berinovasi dengan teknologi baru.
Wanita dengan dress putih. Musisi Holly Herndon yang tinggal di Berlin telah membuat tiruan suaminya, yaitu Holly+. | Wikimedia Commons Musisi elektronik Holly Herndon yang tinggal di Berlin telah mencontohkan kemungkinan cara kerjanya. Melalui kolaborasi dengan Never Before Heard Sounds ia membuat tiruan AI dari suaranya, Holly+. Siapa pun dapat mengunggah suaranya, mengubahnya menjadi suara Holly, kemudian memanfaatkan suara itu secara gratis. Namun, untuk setiap pemanfaatan Holly+ secara komersial ada DAO yang bertindak sebagai penjaga gerbang komunitas dan penerima manfaat suara Holly. Kita seharusnya bisa menggunakan sistem block chain seperti ini untuk menjamin asal-usul data dan untuk memastikan bahwa pihak-pihak yang terkait dengan data tertentu mendapatkan aliran dana.

Di Australia malah sudah ada upaya sejenis pada tingkat pemerintah – dalam kasus-kasus tertentu, sistem lisensi wajib memungkinkan penggunaan material yang dilindungi hak cipta tanpa memperoleh izin secara eksplisit, asalkan para pemegang hak memperoleh kompensasi yang layak. Penggunaan wajar model “Lebih baik minta maaf daripada minta izin”. Model ini digunakan terutama di universitas atau sekolah yang ingin memberikan cuplikan buku kepada siswa atau mahasiswa, dan – jika disesuaikan untuk hak atas data – dapat menjadi instrumen yang sangat berguna. Sistem seperti ini akan memungkinkan para ahli teknologi menggunakan musik secara bebas, tetapi dengan memberikan kompensasi melalui biaya lisensi mikro dalam konteks pembayaran royalti standar kepada pada musisi merupakan pemegang hak cipta atas data yang digunakan.

Hak kekayaan intelektual itu penting, tetapi jika diterapkan secara berlebihan, dapat mencekik kreativitas. Teknologi itu juga penting, tetapi kita tidak mengantisipasi konsekuensi yang mungkin timbul dan menyikapinya dengan bijak ... ya, kita sudah melihat apa yang akan terjadi. Kalau kita bisa menciptakan suatu jalan tengah, kita bisa memberikan kepastian kepada generasi baru pekerja kreatif dan pemusik terkait nilai karya mereka, sekaligus memberikan sumber pemasukan baru kepada para pemegang hak cipta. Namun, langkah-langkah tersebut seharusnya dimulai kemarin – teknologi untuk itu sudah tersedia. Meskipun kita dengan mudah membayangkan AI seperti ini sebagai semacam kecerdasan di awan, pada kenyataannya manusia dan para artis yang bekerja keras. Mereka layak mendapatkan imbalan untuk jerih payah tersebut.

Industri musik menyimpan potensi besar bagi AI dan kita seyogianya tidak menghalanginya. Tetapi sebuah dunia tempat para ahli teknologi dapat mencuri musik dan membuat imitasi tanpa kemungkinan dicegah melalui jalur hukum adalah dunia yang tidak adil.

Top