Presentasi, diskusi Mengkurasi Seni Pertunjukan – Praktik dan Strategi

Curating Performing Arts – Practice and Strategies © Dinyah Latuconsina

22.02.2018
15.00-18.30 WIB

GoetheHaus Jakarta

Presentasi dan diskusi mengenai Curators Academy 2018 di Singapura.
Bersama: Akbar Yumni, Azizi Al Majid, Joned Suryatmoko, Nia Agustina, Rebecca Kezia, Riyadhus Shalihin

Di bidang seni rupa diskusi intensif mengenai praktik-praktik kuratorial telah dimulai sejak 1990an. Namun, tidak demikian di bidang seni pertunjukan. Diskusi mengenai pekerjaan kurasi di konteks seni pertunjukan saat ini masih berada dalam tahap awal. Pada 2015 Goethe-Institut dan festival teater Spielart (Munich, Jerman) mencoba melakukan sesuatu untuk mengubah situasi ini yaitu dengan mengadakan simposium yang dihadiri peserta internasional berjudul Show Me The World yang membahas mengenai pertanyaan-pertanyaan seputar kerja kurasi di tengah satu dunia yang terhubung secara global. Curators Academy yang dikerjakan secara gotong royong oleh TheatreWorks Singapura, Goethe-Institut Singapura und Arts Network Asia adalah satu bentuk inisiatif yang melanjutkan semangat simposium tersebut dan menawarkan kepada 20 seniman dan kurator muda Asia Tenggara yang terpilih menjadi pesertanya kesempatan untuk bertukar pikiran dengan direktur/sutradara teater ternama dari Jerman dan Asia.

Melalui serangkaian kelas dan latihan-latihan yang dibuat sedekat mungkin dengan kenyataan para peserta dan para mentor Curators Academy membahas temuan-temuan hasil diskusi mereka lalu membawa topik-topik itu ke konteks regional dan meninjau secara kritis untuk penerapan lokal. Apakah misalnya ada arahan konkret yang bisa ditarik dari apa yang disebut sebagai etika sebuah peristiwa seni? Apa tantangan mendasar yang dihadapi oleh mereka yang aktif dalam seni pertunjukan di Asia Tenggara? Kesimpulan apa yang kemudian bisa dimasukkan ke dalam diskursus internasional?

Sesi diskusi Mengkurasi Seni Pertunjukan – Praktik dan Strategi berniat untuk melanjutkan diskusi-diskusi yang telah terjadi selama Curators Academy dan menujukan pandangan secara khusus ke konteks Indonesia.

Pembicara:

Akbar Yumni

Presentasi Akbar Yumni akan difokuskan pada film/performance karya Apichatpong Weerasethakul, Fever Room. Akbar akan mengeksplorasi lebih jauh mengenai hubungan antara seni film dan seni pertunjukan dan apa yang dapat memperluas sinema dan performativitas sinema khususnya di era digital seperti saat ini.

Akbar Yumni adalah kritikus seni dan salah satu anggota Forum Lenteng. Ia turut memulai dan sampai sekarang masih menjadi kepala redaksi www.jurnalfootage.net. Akbar kuliah di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara. Salah satu kegiatan utamanya saat ini adalah menjadi kurator festival film Arkipel Jakarta International Documentary and Experimental Film Festival yang diselenggarakan setiap tahun sejak 2013. Akbar pernah bekerja sebagai peneliti di Desantara Foundation pada 2008 dan sering menjadi peneliti lepas untuk Dewan Kesenian Jakarta sejak 2014. Di bidang teater ia adalah kurator untuk pameran arsip dan pementasan teater Sunda Miss Tjitjih, Backstage to Frontstage pada 2017. Ia tengah mengembangkan sebuah proyek pertunjukan bertema Arsip yang Hilang yang didasari pada film karya Bachtiar Siagian berjudul Turang.

Azizi Al Majid

Presentasi Azizi Al Majid akan difokuskan pada spekulasi mengenai partisipasi kolektif dalam sebuah proyek artistik. Ia akan mencoba menggambarkan mengenai perspektifnya mengenai pekerjaan kurasi yaitu sebagi satu usaha untuk mencari kesamaan dan membangun konteks untuk satu karya seni. Azizi yang sejak kuliah sampai sekarang tinggal di Bandung akan bicara berdasarkan pengalamannya sebagai seniman yang bekerja di Bandung.

Azizi Al Majid lahir di Palembang pada 1994. Ia lulus dari Fakultas Seni Rupa Institut Teknologi Bandung pada 2017. Ia aktif berkegiatan di Ilubiung, satu kelompok yang sering mengadakan proyek seni intervensi di Bandung. Ilubiung kerap bekerja berdasarkan asas kuratorial kolektif, beberapa proyek yang di dalamnya Azizi terlibat antara lain Proyek #2: Tonight You Belong to Me (2015) yang dilaksanakan di komunitas seni di Dago Pojok Bandung dan menyelenggarakan beberapa lokakarya serta pameran di lingkungan sekitarnya; proyek Bringing Home (2016), sebuah proyek seni intervensi di halte bus terbengkalai di Bandung menggunakan musik, puisi dan aktivitas kumpul-kumpul; Lembaga Pendidikan Gunakarya (2017), sebuah proyek seni intervensi di sekolah menengah atas negeri yang ada di Bandung yang berupa pengajaran seni kontemporer seminggu sekali kepada murid-murid sekolah tersebut. Azizi tertarik pada dua kerangka kerja yaitu hubungan antara seni, situs dan pengaruh narasi yang berulang, dan mengeksplorasi perubahan makna karya yang bersifat spesifik-situs berdasarkan lokasi, pengaturan, lingkungan, konteks, serta akses dan keterlibatan masyarakat.


Joned Suryatmoko

Presentasi Joned Suryatmoko akan difokuskan pada idenya untuk menghubungkan kota-kota di Asia Tenggara, namun bukan sebagai kesatuan politis sebagai bagian negara. Joned juga mengajak kita untuk meninggalkan sudut pandang yang melihat Jakarta atau Jawa sebagai pusat seni Indonesia. Sebaiknya, menurut Joned, kita juga memerhatikan geliat seni di kota-kota lain di Indonesia yang saat ini sangat dinamis.

Saat ini Joned tertarik pada batas-batas antara teater dan pertunjukan, yang linear dan yang simultan, karakter dan otobiografi, serta akting dan otentisitas. Menggunakan batas-batas itu sebagai titik awal, ia kemudian mengembangkan perhatiannya dan menyelidiki makna performatif, misalnya yang ada dalam teater atau seni penampilan yang lain. Hal semacam ini menurutnya banyak digunakan oleh berbagai kelompok masyarakat di Asia Tenggara akhir-akhir ini untuk mengutarakan atau menegaskan aspirasi politik mereka. Joned sangat percaya masyarakat memiliki kemampuan untuk mentransformasi pengetahuan mereka menjadi praktik-praktik estetis dan seni.

Joned adalah pendiri dan direktur Teater Gardanala di Yogyakarta dan Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF). Untuk IDRF  Joned mengkurasi naskah-naskah internasional agar dapat dibacakan juga, di samping naskah-naskah Indonesia dari generasi baru. Joned kuliah S1 Hubungan Internasional dan S2 Studi Media dan Budaya di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta. Sebagai penerima beasiswa Asian Cultural Council (ACC), ia diundang untuk belajar dan riset di Martin E. Segal Theatre Center, The Graduate Center, City University of New York (CUNY) pada 2016 sampai 2017.
 

Nia Agustina

Presentasi Nia Agustina akan difokuskan pada eksplorasi pribadinya mengenai peran kurator atau penyelenggara festival. Ia ingin menginvestigasi mengenai dinamika kekuasaan di antara artis dan kurator dan apakah hal itu dapat dijaga secara proporsional demi satu karya seni.
 
Nia Augustina lahir di Wonosobo, Indonesia. Ia memiliki ijazah master pendidikan matematika dari Universitas Negeri Yogyakarta. Ia pernah belajar tari-tari tradisional Indonesia dan tari tradisi klasik Yogyakarta di sanggar tari. Antara 2014 dan 2015 ia melakukan riset untuk tesisnya mengenai model belajar matematika yang menggunakan medium tari. Ia mengaku, ia terinspirasi karya-karya William Forsythe.

Pada 2014 Nia memulai Paradance Festival, sebuah festival tari kecil yang diadakan setiap dua bulan sekali yang memungkinkan para koreografer pemula untuk mempertunjukkan karya mereka. Pada 2015 Nia diundang oleh IDF (Indonesian Dance festival) untuk mengikuti lokakarya mengenai kerja kuratorial. Pada 2016 Nia bergabung dengan IDF sebagai salah satu dari tiga asisten kurator utama. Saat ini ia sedang terlibat dalam persiapan IDF yang akan dilaksanakan pada November 2018.


Rebecca Kezia

Presentasi Rebecca Kezia akan difokuskan pada pengalaman dan pengamatannya mengenai Curators Academy terkait dengan latar belakangnya yang bekerja profesional di satu institusi seni swasta. Dalam pandangannya, pekerjaan kurasi adalah satu usaha untuk menghubungkan masyarakat dengan satu bentuk presentasi diskursus, ide atau konsep yang adalah karya seni.

Lahir dan besar di Jakarta, Rebecca aktif berteater sejak masa sekolah menengah. Ia belajar di Fakultas Sastra Indonesia Universitas Indonesia untuk mengembangkan pengetahuannya mengenai sastra Indonesia moderen, khususnya naskah teater. Selama masa kuliahnya ia aktif di manajeman produksi teater kampus dan acara-acara seni Dewan Kesenian Jakarta. Selain itu, ia juga magang di beberapa institusi seni swasta. Di samping tugas-tugas manajerial, ia juga meneliti mengenai seni pertunjukan kontemporer, menulis naskah, dan berakting di beberapa produksi teater di Jakarta. Saat ini ia adalah asisten programer di Komunitas Salihara Jakarta.
 

Riyadhus Shalihin

Presentasi Riyadhus Shalihin akan dibuat berdasarkan penelusurannya mengenai dua pendekatan kuratorial yaitu: pekerjaan kurasi sebagai bentuk kelanjutan tradisi museologi dalam seni rupa, dan pekerjaan kurasi sebagai dramaturgi sebagaimana yang dikenal dalam seni pertunjukan. Ia juga ingin mengembangkan lebih lanjut tinjauannya mengenai makna “performativitas” berdasarkan beberapa karya film dan pertunjukan yang dihadiri oleh seluruh peserta Curators Academy ketika mereka berada di Singapura.

Lahir di Bandung pada 1989, Riyadhus adalah lulusan Fakultas Seni Pertunjukan ISBI Bandung. Ia kemudian melanjutkan studinya ke jenjang master di program studi Curatorial Studies (Curatorship) di Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung. Ia juga mengambil mata kuliah tambahan yaitu kelas filsafat di Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Ketertarikannya meliputi berbagai bidang seni antara lain seni rupa, sinema dan seni pertunjukan. Karya-karya Riyadhus sebagai seniman telah dipentaskan dalam beberapa kesempatan nasional dan internasional. Ia adalah salah satu peserta lokakarya penulisan kuratorial yang diadakan oleh Dewan Kesenian Jakarta pada 2016. Ia menulis esai dan kritik seni untuk majalah Sarasvati.


 

curators academy

Curators Academy adalah lokakarya dan serangkaian acara pada 24-28 Januari 2018 di Singapura yang bertujuan untuk memungkinkan adanya pertukaran gagasan dan pengalaman mengenai praktik dan strategi pekerjaan kurasi di bidang seni pertunjukan. Curators Academy menitikberatkan programnya pada transfer pengetahuan dan percobaan yang realistis untuk konteks lokal. Kelas-kelas dalam Curators Academy dipimpin oleh Stefan Hilterhaus (direktur artistik PACT Zollverein di Essen, Jerman), Sermin Langhoff (kepala Teater Maxim-Gorki di Berlin, Jerman), Sigrid Gareis (antropolog dan kurator lepas) serta Ong Keng Sen (direktur artistik TheatreWorks Singapura). Selain kelas, seminar atau diskusi, Curators Academy dibingkai dengan program pertunjukan yang terbuka pula untuk umum, misalnya produksi aktual dari Volksbühne Berlin Fever Room karya sutradara Apichatpong Weerasethakul.

Kembali