Tentang proyek
Arthouse Cinema
Sejarah sering kali diceritakan melalui naratif-naratif agung—Perang Dunia, Perang Dingin, dan sekian banyak revolusi yang telah membentuk dan mengubah peradaban kita. Namun, ada pula kisah-kisah yang lebih senyap dan sering kali terabaikan. Ini adalah kisah-kisah seputar orang per orang, komunitas kecil, dan peristiwa lokal yang – meskipun tidak selalu tercatat dalam buku-buku sejarah kebanyakan – tidak kalah penting untuk dapat memahami pengalaman manusia di balik kejadian-kejadian besar tadi. Kita biasa mengingat momen-momen monumental, tapi kadang-kadang melupakan momen-momen berskala pribadi, yaitu kisah-kisah personal yang membeberkan bagaimana keputusan yang diambil oleh para pemegang kekuasaan berdampak kepada kehidupan sehari-hari orang-orang biasa.
Sepanjang tahun ini, Arthouse Cinema akan menghadirkan serangkaian film yang telah melewati proses kurasi secara ketat dan menawarkan kesempatan unik untuk mengeksplorasi babak-babak sejarah yang kerap terlupakan. Setiap pemutaran yang dijadwalkan sekali sebulan akan menyediakan lensa personal untuk meninjau kembali masa lalu bersama kita. Film-film tersebut mengingatkan kita bahwa sejarah tidak melulu soal peristiwa besar. Sejarah juga menyangkut momen-momen yang terkadang luput dari perhatian, insiden-insiden kecil yang secara perlahan mengubah dan membentuk dunia kita, dan mengantarkan kita kepada peristiwa-peristiwa lebih besar yang kita ketahui. Kisah-kisah ini mendefinisikan siapa kita dan bagaimana hubungan kita dengan sesama.
Rabiye Kurnaz gegen George W. Bush (Rabiye Kurnaz vs George W. Bush – Andreas Dresen, 2022) menyajikan kisah memikat seputar perjuangan seorang ibu untuk membebaskan putranya dari Guantanamo Bay. Sekalipun menghadapi bermacam rintangan, Rabiye Kurnaz muncul sebagai sosok kuat yang tidak disangka-sangka dan sekaligus melambangkan pertaruhan pribadi dalam sebuah kasus yang sangat politis. Lewat pesona, kecerdasan dan perangainya yang bersahaja, Rabiye membuktikan bahwa seorang ibu dengan keuletan dan kasih sayangnya yang tidak tergoyahkan merupakan simbol terbaik untuk perlawanan, kelangsungan hidup, dan pengabdian. Perjalanannya menggarisbawahi kekuatan dahsyat orang biasa saat menghadapi situasi luar biasa.
Menschen am Sonntag yang juga dikenal dengan judul People on Sunday (Orang di hari Minggu – Robert Siodmak, 1929) menangkap momen-momen singkat dalam kehidupan sehari-hari di Berlin sebelum perang pada suatu Sabtu sore (dilanjutkan dengan serangkaian urusan dan keperluan pada hari Minggu sesudahnya), dan menghadirkan potret sekilas mengenai dinamika masyarakat dan impian pribadi di ambang pergolakan sejarah yang besar. Tidak ada kejadian penting; para tokoh bertemu, bepergian, berjalan-jalan, tidur. Kota dan para protagonis pada gilirannya bisa saling bertukar tempat.
o.k. (kadang-kadang ditulis O.K.) merupakan film antiperang dari Jerman Barat yang dirilis tahun 1970 dan disutradarai oleh Michael Verhoeven. Cerita ini mengikuti empat anggota regu militer AS pada masa Perang Vietnam yang menangkap dan melakukan penganiayaan brutal terhadap seorang gadis Vietnam. Meskipun film ini berlatar perang, pengambilan gambarnya berlangsung di sebuah hutan di Bavaria dan para aktor berbicara dengan aksen Bavaria yang kental – sebuah pilihan yang disengaja oleh Verhoeven untuk menciptakan “efek alienasi khas Brecht”. Teknik ini mendorong penonton untuk menghadapi film tersebut secara kritis dan mengajak mereka untuk merenungkan kengerian perang serta dampak kekuasaan dan kekerasan yang menafikan kemanusiaan.
Lieber Thomas (Thomas yang Baik – Andreas Kleinert, 2021), Wir sind jung, wir sind stark (Kita muda, kita kuat – Burhan Qurbani, 2014), dan Die Brücke am Ibar (Jembatan sungai Ibar – Michaela Kezele, 2012) sama-sama mengeksplorasi pergulatan pribadi dan masyarakat saat terjadinya pergolakan politik, budaya, dan sosial. Lieber Thomas menceritakan kisah Thomas Brasch, seorang penulis dan pembuat film Jerman Timur yang bergulat dengan realitas kehidupan di bawah rezim Stasi yang sarat dengan penindasan. Ia memutuskan untuk menentang sistem dan mengejar kebebasan kreatif, dan film ini menyoroti beban emosional yang harus ditanggung dalam masyarakat yang terpecah, tempat identitas pribadi dan perlawanan politik berbenturan.
Wir sind jung, wir sind stark membidik bentuk ketegangan sosial yang berbeda pada masa sesudah keruntuhan Tembok Berlin. Film ini menyajikan bentrokan penuh kekerasan antara kelompok pemuda neo-Nazi dan komunitas imigran di Rostok pada tahun 1990-an dan mengeksplorasi kebangkitan nasionalisme dan xenophobia setelah reunifikasi Jerman. Die Brücke am Ibar, yang berlatar masa menjelang akhir perang Yugoslavia, menampilkan pendekatan yang lebih intim terhadap tema rekonsiliasi. Film ini mengisahkan Danica, seorang ibu tunggal berkebangsaan Serbia, yang terperangkap di rumahnya bersama anak-anaknya di tengah konflik berdarah antara orang Serbia, orang Albania, dan pasukan NATO. Jembatan sungai Ibar menjadi simbol yang menyentuh untuk perjuangan mereka untuk menyintas dan mempertahankan kemanusiaan saat menghadapi perang dan perpecahan.
Dua film terakhir, yaitu Als Hitler das Rosa Kaninchen stahl (Ketika Hitler Mencuri Kelinci Merah Muda – Caroline Link, 2019) dan Sputnik (Markus Dietrich, 2020), menyoroti kompleksitas seputar identitas, ketakutan dan upaya bertahan hidup dari sudut pandang para protagonis muda. Als Hitler das Rosa Kaninchen stahl menggambarkan hilangnya kepolosan ketika keluarga Kemper – sebuah keluarga Yahudi kelas atas – terpaksa melarikan diri dari Jerman yang dikuasai oleh kaum Nazi dan harus menghadapi tantangan emosional terkait pengungsian dan pengasingan. Sementara itu, Sputnik mengeksplorasi kehebohan yang berbeda. Bertempat di Jerman Timur semasa Perang Dingin, ilmuwan cilik bernama Rike dan gengnya berusaha memahami konsekuensi yang misterius dan meresahkan yang timbul ketika orang meninggalkan desa mereka. Betulkah orang-orang dewasa di sekitar mereka mampu melarikan diri dengan roket dan teknologi canggih ataukah mereka terperangkap di dalam sebuah sistem yang membatasi kebebasan mereka?
Terlepas dari apakah Anda seorang penikmat film atau sekadar penasaran mengenai kisah-kisah terselubung di dunia kita, film-film ini menawarkan kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru. Kami siap menyambut Anda di GoetheHaus dan menantikan kesan-kesan Anda mengenai cerita-cerita yang disajikan kali ini!
Sepanjang tahun ini, Arthouse Cinema akan menghadirkan serangkaian film yang telah melewati proses kurasi secara ketat dan menawarkan kesempatan unik untuk mengeksplorasi babak-babak sejarah yang kerap terlupakan. Setiap pemutaran yang dijadwalkan sekali sebulan akan menyediakan lensa personal untuk meninjau kembali masa lalu bersama kita. Film-film tersebut mengingatkan kita bahwa sejarah tidak melulu soal peristiwa besar. Sejarah juga menyangkut momen-momen yang terkadang luput dari perhatian, insiden-insiden kecil yang secara perlahan mengubah dan membentuk dunia kita, dan mengantarkan kita kepada peristiwa-peristiwa lebih besar yang kita ketahui. Kisah-kisah ini mendefinisikan siapa kita dan bagaimana hubungan kita dengan sesama.
Rabiye Kurnaz gegen George W. Bush (Rabiye Kurnaz vs George W. Bush – Andreas Dresen, 2022) menyajikan kisah memikat seputar perjuangan seorang ibu untuk membebaskan putranya dari Guantanamo Bay. Sekalipun menghadapi bermacam rintangan, Rabiye Kurnaz muncul sebagai sosok kuat yang tidak disangka-sangka dan sekaligus melambangkan pertaruhan pribadi dalam sebuah kasus yang sangat politis. Lewat pesona, kecerdasan dan perangainya yang bersahaja, Rabiye membuktikan bahwa seorang ibu dengan keuletan dan kasih sayangnya yang tidak tergoyahkan merupakan simbol terbaik untuk perlawanan, kelangsungan hidup, dan pengabdian. Perjalanannya menggarisbawahi kekuatan dahsyat orang biasa saat menghadapi situasi luar biasa.
Menschen am Sonntag yang juga dikenal dengan judul People on Sunday (Orang di hari Minggu – Robert Siodmak, 1929) menangkap momen-momen singkat dalam kehidupan sehari-hari di Berlin sebelum perang pada suatu Sabtu sore (dilanjutkan dengan serangkaian urusan dan keperluan pada hari Minggu sesudahnya), dan menghadirkan potret sekilas mengenai dinamika masyarakat dan impian pribadi di ambang pergolakan sejarah yang besar. Tidak ada kejadian penting; para tokoh bertemu, bepergian, berjalan-jalan, tidur. Kota dan para protagonis pada gilirannya bisa saling bertukar tempat.
o.k. (kadang-kadang ditulis O.K.) merupakan film antiperang dari Jerman Barat yang dirilis tahun 1970 dan disutradarai oleh Michael Verhoeven. Cerita ini mengikuti empat anggota regu militer AS pada masa Perang Vietnam yang menangkap dan melakukan penganiayaan brutal terhadap seorang gadis Vietnam. Meskipun film ini berlatar perang, pengambilan gambarnya berlangsung di sebuah hutan di Bavaria dan para aktor berbicara dengan aksen Bavaria yang kental – sebuah pilihan yang disengaja oleh Verhoeven untuk menciptakan “efek alienasi khas Brecht”. Teknik ini mendorong penonton untuk menghadapi film tersebut secara kritis dan mengajak mereka untuk merenungkan kengerian perang serta dampak kekuasaan dan kekerasan yang menafikan kemanusiaan.
Lieber Thomas (Thomas yang Baik – Andreas Kleinert, 2021), Wir sind jung, wir sind stark (Kita muda, kita kuat – Burhan Qurbani, 2014), dan Die Brücke am Ibar (Jembatan sungai Ibar – Michaela Kezele, 2012) sama-sama mengeksplorasi pergulatan pribadi dan masyarakat saat terjadinya pergolakan politik, budaya, dan sosial. Lieber Thomas menceritakan kisah Thomas Brasch, seorang penulis dan pembuat film Jerman Timur yang bergulat dengan realitas kehidupan di bawah rezim Stasi yang sarat dengan penindasan. Ia memutuskan untuk menentang sistem dan mengejar kebebasan kreatif, dan film ini menyoroti beban emosional yang harus ditanggung dalam masyarakat yang terpecah, tempat identitas pribadi dan perlawanan politik berbenturan.
Wir sind jung, wir sind stark membidik bentuk ketegangan sosial yang berbeda pada masa sesudah keruntuhan Tembok Berlin. Film ini menyajikan bentrokan penuh kekerasan antara kelompok pemuda neo-Nazi dan komunitas imigran di Rostok pada tahun 1990-an dan mengeksplorasi kebangkitan nasionalisme dan xenophobia setelah reunifikasi Jerman. Die Brücke am Ibar, yang berlatar masa menjelang akhir perang Yugoslavia, menampilkan pendekatan yang lebih intim terhadap tema rekonsiliasi. Film ini mengisahkan Danica, seorang ibu tunggal berkebangsaan Serbia, yang terperangkap di rumahnya bersama anak-anaknya di tengah konflik berdarah antara orang Serbia, orang Albania, dan pasukan NATO. Jembatan sungai Ibar menjadi simbol yang menyentuh untuk perjuangan mereka untuk menyintas dan mempertahankan kemanusiaan saat menghadapi perang dan perpecahan.
Dua film terakhir, yaitu Als Hitler das Rosa Kaninchen stahl (Ketika Hitler Mencuri Kelinci Merah Muda – Caroline Link, 2019) dan Sputnik (Markus Dietrich, 2020), menyoroti kompleksitas seputar identitas, ketakutan dan upaya bertahan hidup dari sudut pandang para protagonis muda. Als Hitler das Rosa Kaninchen stahl menggambarkan hilangnya kepolosan ketika keluarga Kemper – sebuah keluarga Yahudi kelas atas – terpaksa melarikan diri dari Jerman yang dikuasai oleh kaum Nazi dan harus menghadapi tantangan emosional terkait pengungsian dan pengasingan. Sementara itu, Sputnik mengeksplorasi kehebohan yang berbeda. Bertempat di Jerman Timur semasa Perang Dingin, ilmuwan cilik bernama Rike dan gengnya berusaha memahami konsekuensi yang misterius dan meresahkan yang timbul ketika orang meninggalkan desa mereka. Betulkah orang-orang dewasa di sekitar mereka mampu melarikan diri dengan roket dan teknologi canggih ataukah mereka terperangkap di dalam sebuah sistem yang membatasi kebebasan mereka?
Terlepas dari apakah Anda seorang penikmat film atau sekadar penasaran mengenai kisah-kisah terselubung di dunia kita, film-film ini menawarkan kesempatan untuk menemukan sesuatu yang baru. Kami siap menyambut Anda di GoetheHaus dan menantikan kesan-kesan Anda mengenai cerita-cerita yang disajikan kali ini!