Seminar Memamerkan Koleksi, Mempertanyakan Sejarah, dan Membangun Kisah

Para Sekutu yang Tidak Bisa berkata Tidak © Cecil Mariani

25.02.2022
15.00 - 17.00 WIB

Online

Pameran ‘Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak’ menampilkan karya, arsip, foto, dan buku dari beragam koleksi institusi maupun pribadi. Apa yang menghubungkan mereka?

Untuk bergabung dalam diskusi ini via Zoom, daftar melalui:

Atau ikuti siaran langsungnya di Facebook:

Pameran ‘Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak’ bermula dari karya-karya perupa antarbangsa dalam koleksi Galeri Nasional Indonesia yang berasal dari dua pameran: Paris Jakarta 1959–1960 (1992) dan Seni Rupa Kontemporer dari Negara-negara Gerakan Non-Blok (1995). Dari sana, muncul sejumlah pertanyaan yang membingkai pilihan. Apakah para perupa luar Indonesia punya hubungan khusus dengan perupa di (atau dari) Indonesia atau dengan praktik artistik yang berlangsung di sini? Apakah para perupa ini kenal satu sama lain? Atau mereka digolongkan begitu saja karena kedekatan umur, kesamaan gender, anggapan kebangsaan, kesamaan gaya dalam berkarya, atau selera artistik?

Tahap selanjutnya adalah menelusuri sejumlah karya yang mengandung praktik, pemikiran, dan sikap perupanya yang saling berpaut, berkelindan, dan melengkapi pilihan awal tadi. Pada tahap ini, sebuah kata kunci—berikut rangkaian pertanyaan—yang berasal dari beragam karya dan praktik sejumlah perupa pilihan tadi menjadi panduan. Apakah kesetiakawanan (antarmanusia, antarkelompok, dan antarbangsa) punya jejak dalam praktik seorang seniman atau bisa menjelma dalam karya-karyanya? Kalau ya, seperti apa? Kalau tidak, kenapa? Apakah kita bisa mengenali ragam bentuk kesetiakawanan ini? Perlukah ia dibedakan satu sama lain? Apakah perkembangan zaman mengubah bentuk kesetiakawanan ini?

Narasumber

NUNUS SUPARDI KARSODIMEDJO
menyelesaikan pendidikan sarjananya di IKIP Malang pada 1970. Ia pernah menjabat sebagai Sekretaris Direktorat Jenderal Kebudayaan (1993–1999), Direktur Direktorat Purbakala (1999–2001) dan Staf Ahli Menteri Kebudayaan dan Pariwisata (2001). Selepas pensiun dari pos terakhirnya sebagai Sekretaris Utama Badan Pengembangan Kebudayaan dan Pariwisata pada 2003, ia terlibat sebagai pengurus dan dewan di beberapa organisasi kesenian dan budaya, termasuk Badan Kerja Sama Kesenian Indonesia, Asosiasi Museum Indonesia Komda DKI Jakarta/Paramitajaya, juga Lembaga Sensor Film. Ia telah menerbitkan berbagai buku, termasuk Moh. Amir Sutaarga, Bapak Permuseuman Indonesia pada 2020.

SITI ADIYATI SUBANGUN
adalah seorang perupa, penulis, dan salah seorang pendiri Gerakan Seni Rupa Indonesia. Pada 1980-an, ia rutin menulis untuk koran, majalah, dan jurnal seni rupa di Indonesia. Sekembalinya dari perjalanannya ke Jepang dan Prancis, ia menemukan kembali koleksi hasil pertukaran "Jakarta-Paris 1959" lalu menginisiasi kerja pendataan kembali, pengarsipan, konservasi, dan pameran koleksi ini kepada publik pada 1992. Bersama Gendut Riyanto, FX Harsono, dan Hendro Wiyanto, ia juga menerbitkan jurnal DIALOG Seni Rupa (1990–1994). Pada 1993, ia mendapat penghargaan kehormatan dari Pemerintah Prancis, Legion d'Honore Chevalier des Arts et Lettres. Siti Adiyati sempat menjadi guru seni rupa pada 1976–1982, sebelum pindah ke Paris dan menerbitkan berbagai buku dan kompilasi esai, salah satunya Dari Kandinsky Sampai Wianta (2017). Sampai sekarang, ia masih aktif mengadakan pameran tunggal dan grup di Indonesia, Eropa, dan Asia.

WATIE MOERANY
menyelesaikan pendidikan sarjananya di Institut Seni Indonesia (ISI) di Yogyakarta dan memperoleh gelar pascasarjana di bidang Sejarah di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia. Ia menerima beasiswa untuk belajar Konservasi dan Pelestarian Budaya di Universitas Oeno di Tokyo, Jepang, dan beasiswa dari Japan Foundation untuk belajar manajemen seni di Queensland University of Technology di Brisbane, Australia. Ia mengikuti beberapa lokakarya kuratorial di Galeri Nasional Indonesia pada 1998 dan pernah terlibat sebagai kurator Pameran Seni Rupa Gerakan Non-Blok. Ia juga menjabat sebagai Direktur Pengembangan Seni di Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif pada 2013. Proyek kuratorial terbarunya antara lain: ‘Geo-Etnik, Biennale Desain dan Kerajinan Indonesia’ (2013); ‘Cakrawala Kekuatan’ di Kunstkring Art Paleis di Jakarta (2013); ‘Biennale Desain dan Kerajinan Indonesia’ di Jakarta (2014); ‘Wood & Good’, pameran perkayuan kontemporer di Jakarta (2015); dan pameran foto Piala Presiden Indonesia di Jakarta.

Moderator

BAYU GENIA KRISHBIE
meraih gelar Sarjana Desain dalam bidang studi Kriya Tekstil dari FSRD Institut Teknologi Bandung pada 2008. Ia bekerja di Galeri Nasional Indonesia sejak 2010 sebagai staf koleksi dan dokumentasi, hingga kemudian ditugaskan sebagai kurator in-house sejak 2014. Bayu terlibat dalam Condition Report, rangkaian lokakarya pengembangan kuratorial yang diorganisir oleh Japan Foundation Asia Center pada 2015–2017 di Jakarta, Manila, Bangkok, dan sejumlah kota di Jepang. Beberapa pameran yang pernah ditanganinya: ‘Mode of Liaisons’ di Bangkok Art and Culture Center (2017), ‘Resipro(vo)kasi: Praktik Seni Rupa Terlibat di Indonesia Pascareformasi’ di Galeri Nasional Indonesia (2017) sebagai bagian dari Condition Report; ‘Manifesto 6.0: Multipolar’ di Galeri Nasional Indonesia (2018), ‘Pameran Seni Rupa Koleksi Nasional #2: Lini Transisi’ di Galeri Nasional Indonesia (2019), serta Festival Seni Media Internasional ‘Instrumenta 2: Machine/Magic’ di Galeri Nasional Indonesia (2019).

GRACE SAMBOH
adalah seorang peneliti dan kurator. Ia turut mendirikan kelompok riset Hyphen (sejak 2011); menjadi Direktur Proyek untuk RUBANAH Underground Hub, Jakarta (sejak 2019); menjadi anggota tim kurator untuk ‘Jakarta Biennale 2021: ESOK’; dan sedang menempuh pendidikan S-3 untuk Kajian Seni dan Masyarakat di Universitas Sanata Dharma.
 

PAmeran 'Para Sekutu yang Tidak Bisa Berkata Tidak

Seperti lagu lama yang masih enak didengar, pameran ini menghadirkan sepilihan karya dari koleksi Galeri Nasional Indonesia, Hamburger Bahnhof – Museum für Gegenwart – Berlin, MAIIAM Contemporary Art Museum, dan Singapore Art Museum, dengan kacamata yang sama sekali berbeda. Dikurasi oleh Grace Samboh, bersama Anna-Catharina Gebbers, Gridthiya Gaweewong, dan June Yap dan merupakan bagian dari proyek jangka panjang Collecting Entanglements and Embodied Histories. Pameran dibuka dari 28 Januari–27 Februari 2022 di Galeri Nasional Indonesia. Daftar secara gratis paling lambat sehari sebelum kunjungan melalui:

Galeri Nasional - pemesanan slot kunjungan
diOrganisir oleh:

Sekutu embodied histories

Mitra media dan komunitas:

Media sekutu embodied histories

Kembali