Budaya Suporter Sepak Bola di Jerman
Dari Suporter Makmur a la Bayern hingga Suporter Kelas Buruh di Kawasan Ruhr

Suporter Borussia Dortmund bersama kiper Roman Weidenfeller di tribune
Suporter Borussia Dortmund bersama kiper Roman Weidenfeller di tribune | Foto (detail): © Picture Alliance/Sven Simon

FC Bayern München, Borussia Dortmund atau FC St. Pauli? Di Jerman yang gila sepak bola, pertanyaan mengenai klub favorit sekaligus pertanyaan mengenai identitas dan ideologi.

“Senjata utama Bundesliga adalah model klub yang dimiliki suporter” – itulah kata-kata yang pada bulan Maret 2011 disampaikan oleh seorang aktivis sepak bola dalam majalah 11 Freunde untuk memuji kenyataan bahwa sepak bola Jerman tetap relatif kebal terhadap komersialisasi total. Di Jerman ada sekitar 25.000 klub. Seberapa istimewa hubungan antara suporter Jerman dan klub-klub mereka itu sebenarnya dan seperti apa pengaruh orientasi politik dan lingkungan asal mereka akan ditunjukkan oleh seleksi kami di bawah.

FC Bayern München: Terbiasa menang

FC Bayern, jawara Bundesliga yang tidak tersaingi dengan enam gelar juara berturut-turut, dianggap sebagai klub dengan publik operet yang bawel dan penonton mainstream. Orang sering lupa bahwa di Munich terdapat kelompok-kelompok fans yang sangat fanatik dan berjejaring erat. Kelompok Ultras ini antara lain bergiat menentang rasisme. Harga tiket musiman antara 140 Euro untuk tempat berdiri dan 750 Euro untuk tempat duduk kelas satu dengan sendirinya menggeser segmen penonton ke arah orang-orang berpenghasilan baik.

Borussia Dortmund: Menjadi suporter itu kerja keras

Suporter Borussia Dortmund – pengejar abadi Bayern – dikenal luar biasa loyal dan kebal krisis. Paling tidak, itulah citra yang mau dibina lewat klaim “Echte Liebe” (Cinta Sejati) yang diusung oleh para suporter dan oleh pihak klub, seolah-olah menafikan muluknya cita-cita kapitalis dan kegilaan transfer pada tahun 1990-an. Para suporter BVB kerap mengaku lebih bernas dan lebih tulus untuk membedakan diri dari pendukung sang rival Bayern München. Nyatanya, “Tembok Kuning” di tribune selatan stadion Dortmund yang berkapasitas lebih dari 80.000 penonton memang menjadi latar identifikasi yang mengesankan. Namun kadang-kadang terlupakan bahwa klub seperti Dortmund pun dikendalikan terutama oleh kepentingan ekonomi. Dukungan para  suporter tidak sebatas ideologi, tetapi juga ditunjukkan lewat rekor sampai dengan 1,4 juta penonton per musim.

FC Schalke 04: Klub tambang batu bara dan pesaing utama

Suporter Schalke-04
Suporter Schalke-04 | Foto (detail): © FC Schalke 04
Der im FC Schalke 04 yang bermarkas di kota Gelsenkirchen yang berjarak 50 kilometer dan
Borussia Dortmund dipandang sebagai rival terberat dalam sejarah sepak bola Jerman. Bagi para suporter, duel-duel di antara keduanya – yang dikenal sebagai “Revierderby” atau Derbi Kawasan – memiliki makna yang hampir sama dengan pertandingan final Liga Champion. Meskipun begitu, baik para pendukung maupun kedua klub memiliki lebih banyak kesamaan dari perbedaan. Schalke 04 memiliki jumlah anggota klub terbanyak setelah FC Bayern dan membayar lebih 90 juta Euro untuk skuat pemainnya, tetapi Schalke dan BVB sama-sama mengaku sebagai klub buruh, berdasarkan tradisi panjang sebagai klub kawasan tambang batu bara yang sudah menjurus ke arah mitos.

RB Leipzig: Klub anti-tradisi

Salah satu klub yang termasuk pendatang baru dalam perebutan tempat teratas dalam tabel adalah RB (Rasenballsport/Olahraga Bola di Rumput) Leipzig, yang didirikan pada tahun 2009 dengan 99 persen kepemilikan dipegang oleh perusahaan Red Bull. Klub yang oleh para fans dan oleh pers sepak bola sering dicemooh sebagai “klub plastik” itu dengan mudah berhasil naik dari liga kelima ke liga utama. RB Leipzig bahkan sudah sempat tampil di kancah Liga Champions. Para pencela menuduh suporter sejati Leipzig itu tidak ada – namun nyatanya, setiap pertandingan ditonton oleh 30.000 orang. Hanya saja benar juga bahwa tiket Red- Bull-Arena, markas RB Leipzig, sudah cukup lama tidak pernah terjual habis.

Energie Cottbus: Penggempur dari Timur?

Energie Cottbus, satu dari sedikit klub yang masih tersisa dari zaman Jerman Timur dan kini bermain di Bundesliga Dua, sering kali menghasilkan liputan media yang negatif. Caci maki bernada rasis dari beberapa suporter Cottbus berhaluan ekstrem kanan pada sebuah pertandingan di bulan April 2017 akhirnya melahirkan kampanye nasional “Kaum Nazi keluar dari stadion”. Pada bulan Mei 2018 sejumlah suporter Cottbus berpose dengan tudung putih bergaya Ku-Klux-Klan. Sejak itu manajemen klub melakukan perlawanan terhadap citra para suporter mereka sebagai piromaniak dan ekstremis kanan – dan mengajak bagian publik yang lebih besar namun diam untuk melakukan aksi melawan kebencian terhadap orang asing, untuk “menyampaikan gambaran sesungguhnya tentang suporter klub kita”.

FC St. Pauli: Bajak laut yang baik hati

Pemain sepak bola dan suporter: Sorak sorai dan high five
Pemain sepak bola dan suporter: Sorak sorai dan high five | Foto (detail): © Picture Alliance/firo Sportphoto/Jürgen Fromme
Der Klub Liga Dua asal Hamburg ini mempunyai akar yang kuat di kalangan pelaku pendudukan rumah berhaluan kiri dan dipandang sebagai hati nurani sosial persepakbolaan Jerman dan sekaligus sebagai malaikat pelindung suporter sepak bola Jerman yang otentik. Pada musim 2018/19 para pemainnya akan mengenakan kostum berwarna pelangi lambang komunitas LGBT (insan lesbian, gay, biseksual, transseksual, transgender, interseksual dan queer). Selain itu, pihak klub juga menyelenggarakan acara “Lomba Lari Melawan Rasisme”, membina proyek global air minum Viva con agua dan aktif menentang iklan seksis. Di FC St. Pauli, 30 persen dari semua tiket terusan tercatat atas nama perempuan, dan sebuah survei pada tahun 2017 menunjukkan 41,4 persen suporternya itu perempuan.

Top