Undang-Undang Rantai Pasokan
Menuntut Tanggung Jawab Perusahaan
Bagi banyak orang di negara-negara non-Eropa, bekerja untuk pemasok perusahaan-perusahaan Jerman berarti eksploitasi, upah rendah, dan pengabaian hak-hak tenaga kerja. Mulai 2023, akan ada undang-undang baru yang menetapkan sanksi untuk pelanggaran hak asasi manusia pada rantai pasokan Jerman – tetapi mungkinkah undang-undang tersebut membawa perubahan nyata?
Muhammad Hanif adalah satu di antara tidak terhitung banyaknya orang di dunia yang pernah bekerja pada rantai pasokan perusahaan Jerman. Ia menjadi tukang jahit di pabrik Ali Enterprises di Pakistan, yang memproduksi celana jin untuk perusahaan garmen diskon KiK. Pada tanggal 11 September 2012, bangunan itu meledak dan terbakar. Ia berhasil selamat hanya karena ia bersama sejumlah rekannya menarik sebuah unit AC sampai terlepas dari dinding, lalu melompat keluar melalui lubang yang terbentuk. 258 orang tewas. Orang-orang yang selamat dan keluarga para korban mengajukan tuntutan terhadap KiK di Jerman, dan menyatakan perusahaan itu turut bertanggung jawab atas jumlah korban tewas yang besar. Namun, pertanyaan apakah perusahaan Jerman dapat dimintai pertanggungjawaban terkait kepatuhan pemasoknya terhadap peraturan hak-hak asasi manusia tidak pernah terjawab secara yuridis. Para hakim pada akhirnya menghentikan kasus itu karena telah melewati masa kedaluwarsa.
Sembilan tahun kemudian, situasi telah berubah dan pertanyaan di atas setidaknya telah terjawab sebagian. Di masa mendatang, perusahaan Jerman turut mengemban tanggung jawab untuk memastikan bahwa para pemasok mereka menegakkan hak-hak asasi manusia. Pada musim panas 2021, setelah melalui perdebatan selama bertahun-tahun, pemerintah Jerman mengesahkan Undang-Undang Rantai Pasokan yang menyoroti pelanggaran hak asasi manusia dalam produksi barang atau komponen untuk produk “Made in Germany”. Undang-undang tersebut berlaku mulai tahun 2023 untuk semua perusahaan dengan lebih dari 3.000 karyawan, dan setelah satu tahun juga untuk perusahaan dengan lebih dari 1.000 karyawan. Dengan cara itu, pemerintah Jerman hendak mencegah pelanggaran hak asasi manusia yang serius, seperti kerja anak dan kerja paksa, berkontribusi kepada kondisi kerja yang lebih aman, dan mendukung pengorganisasian pekerja melalui serikat pekerja.
Sejumlah negara telah lebih dahulu mewajibkan perusahaan untuk mengemban tanggung jawab atas rantai pasokan masing-masing, antara lain Britania Raya, Prancis, Belanda, Australia dan negara bagian AS California. Ini merupakan tanggapan negara-negara tersebut terhadap permasalahan dalam pembagian kerja global, yang timbul karena perusahaan-perusahaan besar sejak tahun 1980-an semakin banyak memecah kegiatan operasi mereka ke dalam rantai nilai. Perusahaan-perusahaan itu sendiri berfokus pada bidang-bidang dengan margin keuntungan paling besar, misalnya penelitian dan pengembangan atau pemasaran, sementara produksi kadang-kadang sepenuhnya dialihdayakan ke rantai pasokan. “Semakin ke Timur, semakin murah,” demikian semboyan bagian pembelian di perusahaan.
Upah yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok sekalipun
Kini, ke-50 perusahaan terbesar di dunia mengalihkan sekitar 94 persen kegiatan operasional mereka agar ditangani melalui rantai pasokan, dan ini menguntungkan para pemilik. Sejak tahun 1980 hingga awal pandemi, keuntungan perusahaan multinasional rata-rata tumbuh menjadi lebih dari dua kali lipat, terutama berkat pembagian kerja ini. Upah di kawasan Selatan global memang lebih rendah, begitu pula standar lingkungan dan standar sosial. Oleh karena itu, perusahaan-perusahaan Eropa mengalihkan berbagai proses produksi yang memerlukan banyak tenaga kerja atau menghasilkan CO2 dalam jumlah besar.
Meskipun perusahaan dan pekerja di negara-negara upah rendah pun mendapat keuntungan dari perkembangan ini, tidak pelak banyak di antara mereka yang bekerja di sepanjang rantai pasokan yang bercabang-cabang – seperti tukang jahit, buruh tambang atau buruh panen – tetap terjebak dalam kemiskinan. Pelanggaran hak asasi-asasi yang serius masih merupakan kejadian sehari-hari dalam rantai pasokan, misalnya saja kerja anak di perkebunan cokelat di Afrika Barat atau kerja paksa dalam produksi katun di Cina. Dan banyak di antara orang-orang yang membanting tulang dalam rantai pasokan menerima upah yang bahkan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pokok mereka sekalipun.
Pihak yang paling bertanggung jawab sesungguhnya pemerintah negara-negara upah rendah. Tetapi mereka tidak bersedia atau tidak sanggup mengambil tindakan, karena khawatir akan kehilangan order. Sebaliknya, pemerintah negara-negara maju selama puluhan tahun berasumsi bahwa pihak perusahaan akan menangani berbagai masalah tersebut secara mandiri atas dasar sukarela. Sejumlah perusahaan memang mengambil tindakan, tetapi secara keseluruhan pendekatan tersebut gagal total. Di Jerman, kurang dari satu di antara lima perusahaan yang disurvei memenuhi kewajibannya untuk memastikan bahwa para pemasoknya menegakkan hak-hak asasi manusia.
Langkah yang setengah hati, tetapi penting
Pada pandangan pertama, undang-undang Jerman itu berkesan setengah hati. Bagaimanapun, peraturan tersebut hanya akan menjangkau satu di antara seribu perusahaan, seluruhnya sekitar 4.800 perusahaan, yang memiliki karyawan dalam jumlah memadai. Padahal potensi risiko tidak dengan sendirinya berkorespondensi dengan besar perusahaan – perusahaan yang lebih kecil pun dapat terlibat dalam bisnis berisiko yang melibatkan pelanggaran HAM.
Lebih lanjut, berdasarkan undang-undang itu, sebuah perusahaan hanya perlu mengidentifikasi risiko pada para pemasok langsung, bukan pada para pemasok tidak langsung, yaitu para pemasok dari para pemasok. Ini mungkin efektif untuk industri tertentu, misalnya untuk merek busana, yang langsung membeli dari pabrik garmen di Asia. Sebaliknya, peraturan itu kurang berguna jika para pemasok langsung itu berkedudukan di Jerman, seperti yang sering ditemui di industri otomotif.
Berdasarkan undang-undang rantai pasokan, pihak perusahaan hanya perlu mengambil tindakan terhadap pemasok tidak langsung jika mengetahui bahwa ada masalah HAM pada rantai pasokan. Akan menarik untuk dilihat kapan situasi seperti ini terjadi. Sepertinya, pengadilan di Jermanlah yang kelak harus mengklarifikasi hal itu. Gaung undang-undang itu akan lebih terasa seandainya – seperti semula dibayangkan oleh Menteri Bantuan Pembangunan Gerd Müller (CSU) – undang-undang tersebut menetapkan pertanggungjawaban perdata atas pelanggaran HAM, sebagaimana diberlakukan pada undang-undang rantai pasokan Prancis. Akan tetapi, gagasan itu dibatalkan akibat tekanan masif dari banyak pelaku usaha. Ini berarti bahwa korban pelanggaran HAM pada rantai pasokan perusahaan Jerman tetap hanya dapat mengajukan tuntutan di pengadilan Jerman berdasarkan undang-undang di negara asal masing-masing. Prosesnya menjadi rumit dan merepotkan, dan karena itu hampir tidak pernah ditempuh. Namun, di masa mendatang, organisasi non-pemerintah dan serikat pekerja dapat mengajukan tuntutan mewakili pihak yang dirugikan – setidaknya, ini sebuah kemajuan. Kecuali itu, akan ada lembaga yang mengontrol apakah pihak perusahaan memenuhi kewajibannya, dan dalam rangka tersebut lembaga bersangkutan dapat meminta dokumen yang diperlukan dari perusahaan terkait. Perusahaan yang terbukti lalai dapat dikenakan denda oleh lembaga pengontrol atau dikecualikan dari tender kontrak publik.
Dalam undang-undang yang baru, aspek lingkungan hidup hanya mendapat perhatian jika berhubungan dengan pelanggaran HAM. Ini dapat terjadi jika seorang pekerja menangani bahan kimia beracun dan karena itu mengalami masalah kesehatan. Undang-undang itu juga berlaku terbatas saja untuk pelanggaran terhadap dua perjanjian lingkungan hidup dan kesehatan internasional yang konkret, yaitu Konvensi Minamata mengenai Merkuri dan Konvensi POP mengenai Bahan Pencemar Organik yang Persisten. Risiko seperti kepunahan spesies, perusakan hutan atau lahan dalam skala besar, atau pun pemanasan global tidak dimasukkan ke dalam undang-undang rantai pasokan oleh para politisi, dan hal ini sangat mengecewakan organisasi-organisasi lingkungan hidup.
Undang-undang ini dapat terwujud antara lain karena telah terjadi perubahan sikap masyarakat di Jerman. Sembilan dari sepuluh warga Jerman menginginkan bahwa perusahaan-perusahaan menegakkan hak asasi manusia ketika berbisnis di luar negeri. Skandal-skandal seperti keruntuhan pabrik tekstil Rana Plaza di Bangladesh atau kebakaran di pabrik Ali Enterprises turut mendorong perubahan sikap tersebut – begitu pula orang-orang seperti Muhammad Hanif, yang bercerita tentang bahaya yang dapat mengintai ketika seseorang bekerja pada rantai pasokan perusahaan Jerman.