Artificial Intelligence
Mesin yang membebaskan kreativitas manusia
Ahli matematika dari Inggris, Marcus du Sautoy, yakin kecerdasan buatan (AI) bisa sama kreatifnya dengan manusia, bahkan bukan tak mungkin AI kelak memiliki alam sadar. Simak diskusi bersama Marcus tentang batasan kreativitas AI untuk saat ini, kemampuan AI memberikan kejutan, dan cara AI mengubah pemaknaan manusia terhadap kreativitas.
Marcus du Sautoy, mari mulai dengan pertanyaan umum: Apa itu kreativitas, dan yang kreatif itu siapa?
Seperti alam sadar (consciousness), kreativitas itu sulit diberikan definisi yang pas. Menarik sebetulnya, karena kedua hal ini berkaitan erat. Hipotesis saya, kreativitas muncul pada waktu yang kira-kira bersamaan dengan alam sadar manusia karena, seperti kata psikolog Carl Rogers, kreativitas adalah alat bagi manusia mengeksplorasi sebuah dunia internal yang ganjil, yang ada di dalam diri kita. Terkait dengan kreativitas, saya sepakat dengan definisi kreativitas dari ahli kognitif Margaret Boden, yaitu sesuatu yang a) baru b) mengejutkan, dan c) punya nilai. Kreativitas artinya kebaruan, karena jika kita menciptakan sesuatu, berarti ciptaan itu belum pernah ada sebelumnya. Tapi, kebaruan saja tidak cukup. Ciptaan itu juga harus menggugah dan memberikan kita perspektif yang berbeda. Nilai (value) juga tidak kalah penting; suatu ciptaan jangan sekadar bikin gempar, tetapi juga membawa pesan dan perubahan.
Tadi dikatakan kreativitas dan alam sadar menyatu. Kapan dan bagaimana terjadinya?
Manusia mulai membuat peralatan berburu dan memasak sekitar 200.000 tahun yang lalu, tapi saya sendiri tidak akan menyebut kegiatan itu kegiatan kreatif. Kreativitas dimulai ketika kita mencoba membuat hal-hal yang tidak selalu memiliki kegunaan praktis. Lukisan pertama diketahui dibuat sekitar 40.000 tahun yang lalu. Saya rasa, itulah titik balik yang penting ketika mungkin ada suara-suara ilham di benak manusia dan muncul pertanyaan-pertanyaan baru. Ketika kita menghabiskan waktu, dan katakanlah satu suku memperbolehkan anggotanya menghabiskan berhari-hari mencoba memahat sosok manusia dari tulang, saat itulah kita mulai melihat kreativitas dan ini berhubungan dengan alam sadar kita.
Bagaimana dengan orang pertama yang terpikir untuk membunuh mammoth dengan tongkat atau batu, bukan lagi dengan tangan kosong. Yang seperti itu kreatif juga? Metodenya baru, punya nilai, dan mengejutkan, minimal untuk si mammoth.
Tidak. Saya pikir justru elemen mengejutkannya tidak ada dan jelas nilai keterlibatan emosionalnya rendah. Namun, untuk saya sebagai matematikawan, ini sangat menarik karena saya pun terus-menerus mempertanyakan apa bedanya makna kedua kata ini: penciptaan dan penemuan. Para ahli matematika sering berdiskusi tentang kreativitas di bidang kami, dan unsur kreativitas jelas ada. Tapi, begitu suatu ciptaan dihasilkan, pasti ada yang berkomentar bahwa ciptaan itu, ya, memang sudah menunggu untuk ditemukan. Padahal, jangan lupa, untuk bisa menemukan sesuatu, kita harus membayangkan dulu objek temuannya untuk kemudian mewujudkan bayangan itu di dunia nyata.
Poin yang pas untuk beralih ke topik AI: Pada tahun 2019, Anda menerbitkan buku berjudul “The Creativity Code: How AI is Learning to Write, Paint and Think”. Ada apa dari AI yang menarik untuk Anda dan apa kaitannya dengan kreativitas, sampai-sampai Anda menulis satu buku tentang ini?
Secara tradisional, matematika dianggap berpotensi dipraktikkan oleh sebuah komputer. Ketika komputer pemain catur buatan IBM, Deep Blue, mengalahkan grandmaster Garry Kasparov pada tahun 1996, peristiwa menjadi titik krisis eksistensi bagi kita semua. Catur adalah olahraga logika dan dipandang serupa dengan matematika. Namun, matematika melibatkan lebih banyak lagi intuisi, upaya mencari pola, dan langkah yang tidak langsung gamblang maksudnya. Jadi, untuk kami, yang lebih mirip dengan matematika sebetulnya bukan catur, melainkan permainan Go. Lalu, ketika saya menyaksikan mesin memainkan Go pada level yang luar biasa canggih, saya tersadar, inilah momen perubahan yang bisa berpengaruh terhadap saya dan dunia kreatif saya. Itu pencetusnya. Buku saya bisa dibilang adalah hasil eksplorasi diri.
Pertandingan Go yang tadi disebutkan adalah pertandingan bulan Maret 2016 antara program AI AlphaGo dengan Lee Sedol, pemain Go terbaik di dunia, dan ketika itu mesin membuat langkah yang tidak terduga. Menurut Anda, apakah langkah itu pertanda kreativitas?
Kemampuan komputer mengalahkan manusia dalam suatu permainan bukan berita baru. Kita sudah lumayan terbiasa dengan keberadaan komputer yang dalam hal tertentu lebih hebat dibandingkan manusia. Komputer bisa menghitung rumus matematika dengan lebih cepat, lebih jago bermain catur, dan pada saatnya nanti akan bisa mengendalikan mobil dengan lebih aman dibandingkan manusia. [Pada pertandingan Go] langkah yang paling mengejutkan adalah satu langkah pada babak kedua karena langkah itu langsung memenuhi dua dari tiga prasyarat yang saya tetapkan bagi kreativitas. Yaitu, langkah itu baru dan langkah itu mengejutkan para juri. Ada video-video YouTube yang merekam momen istimewa itu dan semua komentator bilang langkah itu di luar dugaan. Tidak ada yang bisa membaca mengapa AlphaGo melakukan langkah yang sepertinya lemah di awal permainan. Pada akhirnya, AlphaGo menunjukkan bahwa langkah tadi bisa menciptakan nilai, dan nilai di sini maksudnya adalah memenangkan permainan. Dan memang terjadi kan.
Apa yang sebetulnya kita saksikan dari momen itu: kreativitas dari kode, atau kreativitas pembuat kode?
Nah, kalau ada pemain Go, manusia, yang bisa membaca kode mesin, orang itu pasti akan menghapus kode langkah tersebut karena merasa itu bukan strategi yang kuat. Di situ titik pentingnya. Setelah melalui proses belajar, AlphaGo ternyata membuat satu baris kode yang tidak akan mungkin ditambahkan oleh manusia.
Kita, manusia, menganggap hanya kitalah spesies kreatif di muka bumi. Tapi, manusia berpotensi memiliki pesaing. Apa ini artinya bagi kita?
Dalam hal pandangan kita tentang kesadaran di dalam diri manusia, ada kemungkinan akan terjadi perubahan besar, seperti penemuan Kopernikus dulu. Selama berabad-abad, sains banyak menunjukkan manusia bukan lagi pusat ataupun yang terunggul dari segala-galanya, tapi kita masih punya alam sadar sebagai benteng terakhir. Mungkin, suatu hari nanti, akan ada sesuatu yang tingkat kesadarannya melebihi kita. Untuk saat ini, saya melihat AI lebih sebagai alat yang bisa kita gunakan untuk mengeksplorasi kesadaran kita sendiri. Kalau dipikir-pikir, kita ini sebetulnya punya rutinitas yang itu-itu saja dalam berpikir dan berperilaku, sehingga mungkin mesinlah yang pada akhirnya akan membantu manusia untuk tidak terlalu menyerupai robot.
Apa yang bisa dilakukan AI tetapi tidak bisa dilakukan manusia, dan bagaimana kemampuan AI itu dapat membuat manusia lebih maju?
Perlu diingat bahwa AI mampu berinteraksi dengan data dalam skala yang tidak mungkin dilakukan oleh manusia. Misalnya, AI bisa membaca semua karya sastra dari era Victoria hanya dalam satu sore, sementara saya diberikan waktu setahun pun tidak cukup untuk menyelesaikan lebih dari beberapa novel. Saya duga, masih ada buku-buku yang sudah ratusan tahun tidak terbaca, padahal sebetulnya layak dibaca agar kita bisa lebih memahami sejarah manusia. AI bisa melakukannya, jadi itu satu perbedaan besar. AI ibarat teleskop yang dipegang Galileo: dengan alat itu, kita bisa melihat lebih dalam dan jauh dibandingkan yang mampu dilakukan manusia.
Di samping peluang, apakah Anda melihat AI juga sebagai ancaman?
Memang ada pemikiran bahwa era ini barangkali menjadi era terakhir bagi kreativitas manusia, karena algoritma pada suatu hari nanti mungkin mengalahkan kita. Tapi, dalam pandangan saya, pemikiran itu tak lebih dari narasi ala Hollywood. Betul, akan ada jenis pekerjaan yang terganti, misalnya pembuatan musik untuk video profil perusahaan atau pengembangan gim komputer yang sederhana. AI bisa melakukan hal-hal ini dengan cepat. Jadi, AI bisa dibilang ancaman bagi beberapa subsektor industri kreatif. Untuk sekarang, saya melihat AI lebih sebagai alat yang belum perlu kita berikan identitas terlalu jauh. Dalam beberapa hal, AI unggul, tapi ada AI juga bisa tidak unggul dalam hal-hal lain.
Kenapa begitu?
Di dunia visual, kita sudah melihat dobrakan AI yang bisa mengenali unsur-unsur di dalam suatu citra (image) dan karena itu AI mampu menciptakan citra visual yang menarik. Tapi, AI masih bermasalah dengan unsur temporal, atau waktu. AI bisa memainkan improvisasi jazz selama 30 sampai 60 detik, tapi habis itu ya membosankan untuk didengar karena AI-nya sendiri tidak tahu arah permainannya. Sama juga dengan tulis menulis: AI cukup oke digunakan untuk menulis sekitar 350 kata, tapi setelah itu dia bingung dengan jalan cerita. Salah satu kekurangan AI adalah, ketika kita mengajarkan AI cara menulis buku, yang kita tunjukkan kepada AI adalah kata-kata tertulis. Ketika kita ajarkan AI bermain musik, kita tunjukkan not. Padahal, ketika manusia melakukan proses yang sama, kita menggunakan data yang luar biasa kaya dan beragam jenis, baik itu visual, oral, maupun tertulis.
Ada contoh perbedaan kreativitas manusia dan AI?
Saya pernah melakukan percobaan di Pusat Seni Pertujukan Barbican di London. Percobaan ini mengambil Bach sebagai tema. AI kami ajarkan semua karya organ dari Bach, kecuali English Suites. Setelah itu, kami memotong-motong rekaman English Suites, kemudian meminta AI mengisi bagian yang hilang. Penonton diminta mencoba menunjukkan momen ketika musik beralih dari Bach ke AI dan ke Bach lagi. Hal ini cukup sulit dilakukan oleh penonton, tapi ada satu pemain harpsichord yang berkata dia tahu persis kapan bagian yang dimainkan AI mulai masuk. Pertama, katanya, bagian yang ditampilkan AI terlalu rumit untuk dimainkan. AI itu kan tidak punya wujud, sementara Bach menulis komposisinya agar nyaman untuk jari-jarinya. Kedua, katanya lagi, judul English Suites diberikan Bach karena sang komponis menyukai kadens yang terdapat pada bahasa Inggris saat dituturkan, dan Bach mencoba menangkap nuansa tuturan itu dalam permainan organnya. Jadi, Bach punya data yang berbeda: bahasa Inggris. Terlihat di sini salah satu kelemahan AI: AI mengandalkan set data yang sempit. Sebab itu juga AI gagal dalam uji bahasa dan tantangan yang dinamai tantangan Winograd. Tantangannya berbentuk kalimat dan kalimat ini digunakan dalam tes Turing untuk mengetahui mana yang AI, mana yang manusia. Contoh kalimatnya begini: “Pemerintah melarang demonstran melaksanakan aksi protes karena mengkhawatirkan kekerasan.” Sebagai manusia, kita tahu secara intuitif bahwa yang mengkhawatirkan kekerasan adalah pemerintah dan pengetahuan ini kita himpun dari konteks sejarah yang luar biasa luas, sementara AI tidak punya pengetahuan itu.
Tapi AI berkembang sangat cepat, apakah kita tidak tinggal menunggu waktu sampai AI bisa mengatasi kelemahannya?
Jangan lupa, otak manusia sudah berevolusi selama jutaan tahun. Bisa tidak, kita memangkas waktu evolusi itu dengan pengetahuan yang sekarang kita punya tentang cara kerja otak? Kalaupun kita sudah cukup tahu tentang saraf dan sinaps dan desain otak yang sebenar-benarnya, pengetahuan itu mungkin masih belum cukup untuk mempercepat timbulnya alam sadar. AI mungkin akan perlu pengembangan berulang kali seperti yang kita alami juga, meski dengan kecepatan yang jauh lebih tinggi. Tapi itu pun barangkali akan perlu waktu puluhan tahun.
Anda menulis buku tentang kreativitas AI dengan dibantu oleh AI. Seberapa baik hasilnya?
Saya meminta AI untuk menuliskan salah satu cerita yang ingin saya masukkan di buku itu. Saya tahu, untuk cerita ini, ada banyak data yang tersedia di internet. Hasil tulisan AI sedikit aneh, tapi lumayan koheren, jadi saya sertakan saja di dalam buku. Yang membuat saya agak kecewa, sumber-sumber rujukan yang digunakan AI masih bisa saya kenali dengan mudah. Tapi, saya tidak bilang siapa-siapa, tulisan mana yang merupakan hasil karya mesin. Editor saya pun sampai sekarang tidak tahu. Sebetulnya sedih juga ya, karena kalau dia saja tidak bisa membedakan, artinya saya ini apa sebagai penulis? (tertawa)
Apakah Anda bagi-bagi royalti buku dengan AI? Atau, siapa yang menurut Anda seharusnya mendapatkan pengakuan dan royalti kalau AI membuat sesuatu—pembuat kodenya, perusahaan yang mempekerjakan si pembuat kode dan pengembang program, atau kodenya itu sendiri?
Apakah orangtuanya Picasso diberikan pengakuan atas lukisan anak mereka? Bagaimana dengan pelukis-pelukis lain yang dipelajari Picasso? Tidak kan. Tapi, set data yang menjadi sumber pelajaran AI sangat penting, jadi siapa pun yang berkontribusi kepada set data itu jelas menjadi bagian dari penciptaan. Saya rasa, kehadiran AI dalam proses kreatif akan mengubah pandangan kita bahwa hanya ada satu sosok kreatif di balik segala hal. Saya suka istilah “scenius” dari Brian Eno dan pemikiran bahwa untuk suatu aksi kreatif, yang patut diberikan pengakuan bukan satu orang saja, melainkan banyak orang.
Kalau kita ketemu lagi 10 tahun dari sekarang, perubahan apa yang bisa kita lihat dari AI?
Salah satu hal paling menarik dari AI adalah potensinya untuk memberikan pengalaman unik bagi setiap individu. Dengan mengetahui latar belakang keilmuan atau buku-buku yang kita baca, AI bisa saja cukup memahami siapa kita dan bisa menjadi tandem menulis yang sesuai untuk kita sendiri. Menurut saya, ini bisa terjadi pada 2030.
Bagaimana dengan dua puluh tahun dari sekarang?
Ya, kita kelihatannya telah menciptakan sesuatu yang dapat memiliki alam sadar. Alam sadar itu bukan sihir, melainkan kombinasi ilmu matematika, fisika, kimia, dan biologi yang menghasilkan sesuatu yang punya kesadaran. Saya pikir, suatu ketika nanti kita akan bisa menghadirkan kombinasi tersebut di dalam mesin. Setelah itu, kreativitas mesin akan menjadi kunci yang membantu kita memahami kapan kesadaran timbul. Prosesnya juga tidak akan perlahan-lahan, melainkan cukup cepat seperti air yang menguap.