1962-1979

Tahun-tahun awal Goethe-Institut berkiprah di Indonesia—mulai dari jantung ibu kota hingga timur Pulau Jawa—sebagai institusi yang menangani pembinaan bahasa Jerman dan kerja sama kebudayaan antarnegara. Berbagai program kesenian, ceramah, hingga kehadiran figur ternama mewarnai perjalanan periode ini.

1962

Goethe-Institut Jakarta membuka pintunya di Jl. Matraman Raya 23. Dr. Winfried Stache merupakan orang pertama di tempat. Ia datang ke Indonesia sekitar tahun 1960.

1963

Presiden kedua Republik Federal Jerman Dr. Heinrich Lübke mengunjungi Goethe-Institut Jakarta.

1964

Awal dari Goethe-Institut Surabaya
Peresmian

Baca selengkapnya

1964

Awal dari Goethe-Institut Surabaya
Peresmian

Sejarah berdirinya Goethe-Institut Surabaya bermula ketika pakar musik gamelan Dr. Rudolf Gramich dan guru-guru lainnya mulai memberikan kursus bahasa Jerman di Surabaya pada tahun 1960-an. Keberhasilan yang tinggi dari kursus-kursus ini menarik perhatian Goethe-Institut untuk membuka kantor di Surabaya pada tahun 1964.

Karena pergolakan politik, manajemen ditarik kembali ke Jerman, tetapi Goethe-Institut Surabaya tetap bertahan. Tak lama kemudian kursus bahasa di Goethe-Institut menjadi sangat populer. Bahkan di tahun 1966, setidaknya seribu orang mencoba mengakses ke institut untuk mendaftar kursus bahasa. Situasi saat itu tidak kondusif sampai polisi datang dan mengamankan area tersebut.




 

1967

Prakarsa Goethe-Institut
“Deutsche Tanzer“ Menari di Indonesia

Baca selengkapnya

1967

Prakarsa Goethe-Institut
“Deutsche Tanzer“ Menari di Indonesia

“Deutsche Tanzer“ terdiri dari 10 orang dari sejumlah kelompok balet terkenal dari berbagai kota di Jerman Barat. Atas prakarsa Goethe-Institut, mereka bergabung dengan nama “Deutsche Tanzer“ untuk mengadakan tur keliling ke sejumlah negara Asia. Di Indonesia, rombongan ini tampil di Jakarta dan Surabaya. Mereka menarikan tarian balet klasik dan modern hingga tarian jazz-ballet. Semula, pertunjukan di Jakarta hanya dijadwalkan satu kali. Namun, pertunjukan di Jakarta ditambah satu karena tingginya permintaan. Mereka muncul dua kali berturut-turut di Bali Room H.I pada Senin, 27 dan Rabu, 29 November 1967 malam.

 

1969

Goethe-Institut Surabaya dan Bandung

Baca selengkapnya

1971

"Deutsche Gastspieloper Berlin" (Rombongan Opera Jerman, Berlin) mementaskan opera "Die Kluge" (Puteri Tjerdik) karya komponis Jerman, Carl Orff, di Teater Besar Taman Ismail Marzuki Jakarta pada hari Minggu, tanggal 30 Oktober atas kerja sama antara Pusat Kesenian Jakarta dan Goethe-Institut.

1972

Prof. Dr. A. Subardjo Djojoadisurjo, S.H. memberikan ceramah dalam bahasa Inggris dengan judul “The Historical Background of the Indonesian Constitution of 1945” pada Senin, 17 Juli di Goethe-Institut Jakarta. Prof. Subardjo pernah menjabat sebagai anggota Panitia Persiapan Konstitusi Kemerdekaan Indonesia pada 1945 dan Menteri Luar Negeri Indonesia yang pertama.

1973

"Deutschen Bachsolisten", sebuah ansambel musik kamar yang - menurut catatan - termahsyur di Jerman Barat mengadakan pagelaran di Taman Ismail Marzuki pada 27 September atas kerja sama Goethe-Institut Jakarta dan Dewan Kesenian Jakarta. Ansambel ini mempersembahkan karya khusus Bach menggunakan 7 violin, 2 biola, dan sebuah alat tiup.

1975

Pemutaran ulang pertandingan
Piala Dunia 1974

Baca selengkapnya

1975

Pemutaran ulang pertandingan
Piala Dunia 1974

Goethe-Institut mengadakan kegiatan menonton bersama publik untuk kembali menyaksikan kejuaraan dunia sepak bola memperebutkan Piala Dunia 1974 melalui pita film. Kegiatan ini berlangsung pada Januari, lima bulan setelah perhelatan sepak bola itu digelar di Jerman Barat. Pada saat itu, tuan rumah Jerman Barat dinobatkan sebagai juara setelah mengalahkan Belanda 2-1 di Stadion Olimpiade München.




 


1979

Nyonya Rahmi Hatta, istri proklamator sekaligus wakil presiden pertama RI Mohammad Hatta, menerima sertifikat bahasa dari Goethe-Institut Jakarta. Nyonya Rahmi mengambil kelas bahasa Jerman di tahun 1978-1979an.

Istri dari Mohammad Hatta © Arsip - Goethe-Institut Indonesien

1980-1999


Hartini Soekarno, Wayang Orang, Prof. Dr. Fuad Hassan, ...

Menuju periode kedua